Statemen beberapa anggota dewan yang menyulut amarah rakyat sesungguhnya hanya membuka luka lama: pemilu yang cacat, politik uang yang merajalela, dan janji-janji kosong yang dikhianati. Dari desa, kami melihat kegaduhan itu sebagai tanda rapuhnya fondasi demokrasi yang mestinya dijaga.
Bagi warga desa, politik sering kali terasa jauh, bising, dan penuh jargon. Namun ketika kerusuhan merebak, kami sadar bahwa apa yang terjadi di pusat ibukota sesungguhnya punya getarannya sampai di desa. Ada hubungan erat antara suara desa dan kebijakan parlemen.
Maka kami bertanya, siapa yang harus disalahkan? Rakyatkah yang salah memilih, atau para wakil rakyat yang mengkhianati janji? Pertanyaan itu menggantung di warung kopi desa, dibicarakan lirih namun penuh kegelisahan, sebab politik tidak lagi menjadi cerita orang kota saja.
Kerusuhan itu pun membuka ruang refleksi. Jika rakyat menilai DPR gagal, maka tentu ada yang salah sejak proses pemilu. Produk yang buruk selalu lahir dari mekanisme yang cacat. Dari sinilah, kami di desa melihat pentingnya kembali mengevaluasi demokrasi.
Suara desa memang kerap kecil, tapi jangan lupa ia adalah denyut nadi republik. Jika desa kecewa, itu berarti fondasi bangsa sedang goyah. Dan kerusuhan di parlemen hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang jauh lebih dalam.
Pemilu yang Retak dan Harapan Desa
Dalam teori politik, DPR yang baik lahir dari pemilu yang baik. Namun di desa, kami sering melihat kenyataan sebaliknya. Saat pesta demokrasi berlangsung, suara rakyat desa seakan menjadi obyek rebutan, bukan subyek yang dimuliakan.
Praktik money politics begitu nyata. Uang dibagi, amplop diselipkan, janji ditebar. Semua dilakukan terang-terangan, seakan hukum hanyalah aksesoris belaka. Dan kami di desa, yang sering terdesak kebutuhan hidup, menjadi sasaran paling empuk permainan itu.
Warga desa pun sering merasa dilema. Ada yang menerima uang demi kebutuhan harian, ada pula yang menolak dengan getir. Namun setelah pemilu usai, kami menyadari bahwa suara desa telah digadaikan murah. Parlemen pun terisi oleh mereka yang berkuasa karena uang.
Kekecewaan itu menumpuk. Kami sadar, jika pemilu retak, maka demokrasi juga rapuh. Desa hanya bisa berharap, meski uang bertebaran, suara hati nurani tetap akan menentukan. Tapi apakah nurani masih cukup kuat melawan derasnya arus uang?
Inilah refleksi pahit yang muncul setiap kali kami menatap kerusuhan di DPR. Bagi kami di desa, masalahnya bukan sekadar keributan politik, melainkan cermin retaknya sistem yang seharusnya menjaga martabat demokrasi rakyat.