Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Demokrasi yang Retak: Suara Desa di Tengah Politik Uang

3 September 2025   07:15 Diperbarui: 3 September 2025   08:59 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu rumah anggota DPR RI yang dijarah (Sumber: KOMPAS.com/Revi C Rantung)

Statemen beberapa anggota dewan yang menyulut amarah rakyat sesungguhnya hanya membuka luka lama: pemilu yang cacat, politik uang yang merajalela, dan janji-janji kosong yang dikhianati. Dari desa, kami melihat kegaduhan itu sebagai tanda rapuhnya fondasi demokrasi yang mestinya dijaga.

Bagi warga desa, politik sering kali terasa jauh, bising, dan penuh jargon. Namun ketika kerusuhan merebak, kami sadar bahwa apa yang terjadi di pusat ibukota sesungguhnya punya getarannya sampai di desa. Ada hubungan erat antara suara desa dan kebijakan parlemen.

Maka kami bertanya, siapa yang harus disalahkan? Rakyatkah yang salah memilih, atau para wakil rakyat yang mengkhianati janji? Pertanyaan itu menggantung di warung kopi desa, dibicarakan lirih namun penuh kegelisahan, sebab politik tidak lagi menjadi cerita orang kota saja.

Kerusuhan itu pun membuka ruang refleksi. Jika rakyat menilai DPR gagal, maka tentu ada yang salah sejak proses pemilu. Produk yang buruk selalu lahir dari mekanisme yang cacat. Dari sinilah, kami di desa melihat pentingnya kembali mengevaluasi demokrasi.

Suara desa memang kerap kecil, tapi jangan lupa ia adalah denyut nadi republik. Jika desa kecewa, itu berarti fondasi bangsa sedang goyah. Dan kerusuhan di parlemen hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang jauh lebih dalam.

Pemilu yang Retak dan Harapan Desa

Dalam teori politik, DPR yang baik lahir dari pemilu yang baik. Namun di desa, kami sering melihat kenyataan sebaliknya. Saat pesta demokrasi berlangsung, suara rakyat desa seakan menjadi obyek rebutan, bukan subyek yang dimuliakan.

Praktik money politics begitu nyata. Uang dibagi, amplop diselipkan, janji ditebar. Semua dilakukan terang-terangan, seakan hukum hanyalah aksesoris belaka. Dan kami di desa, yang sering terdesak kebutuhan hidup, menjadi sasaran paling empuk permainan itu.

Warga desa pun sering merasa dilema. Ada yang menerima uang demi kebutuhan harian, ada pula yang menolak dengan getir. Namun setelah pemilu usai, kami menyadari bahwa suara desa telah digadaikan murah. Parlemen pun terisi oleh mereka yang berkuasa karena uang.

Kekecewaan itu menumpuk. Kami sadar, jika pemilu retak, maka demokrasi juga rapuh. Desa hanya bisa berharap, meski uang bertebaran, suara hati nurani tetap akan menentukan. Tapi apakah nurani masih cukup kuat melawan derasnya arus uang?

Inilah refleksi pahit yang muncul setiap kali kami menatap kerusuhan di DPR. Bagi kami di desa, masalahnya bukan sekadar keributan politik, melainkan cermin retaknya sistem yang seharusnya menjaga martabat demokrasi rakyat.

Godaan Uang dan Putus Asa yang Menghantui

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun