Dari desa, kabar tewasnya Affan Kurniawan dalam demonstrasi terasa begitu memilukan. Affan hanyalah seorang pengemudi ojol, namun nasibnya terhenti di tengah pusaran konflik politik yang mestinya tidak pernah melibatkan rakyat kecil seperti dirinya.
Aksi massa pada 25 dan 28 Agustus 2025 awalnya diarahkan untuk menolak rencana kenaikan tunjangan DPR. Aspirasi itu lahir dari keresahan mendalam masyarakat, yang merasa ekonomi semakin berat sementara wakil rakyat justru sibuk menuntut kenyamanan.
Kericuhan yang pecah di depan Gedung DPR menjadi titik paling kelam. Suara rakyat yang mestinya dilindungi justru dibalas dengan represi. Aparat yang seharusnya menjadi pengayom, pada akhirnya menjadi bagian dari peristiwa yang menelan korban jiwa.
Nama Affan pun melekat sebagai simbol. Ia mewakili wajah rakyat yang sederhana, bekerja keras, dan berjuang demi keluarga. Kehilangannya menyampaikan pesan getir: demokrasi bisa gagal melindungi mereka yang justru menjadi pemilik sah kedaulatan.
Dari desa, tragedi itu dipahami bukan hanya sebagai insiden, melainkan sebagai peringatan. Demokrasi yang kehilangan arah dapat menelan korban. Jika suara rakyat tidak lagi dihargai, apa arti kedaulatan yang selama ini diagungkan?
Menara Gading dan Kedaulatan yang Terpinggirkan
Perbincangan tentang besarnya gaji DPR sering terdengar hingga desa. Warga menilai angka-angka itu terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari yang dipenuhi perjuangan. Ketika DPR berbicara kenaikan pendapatan, rakyat hanya melihat betapa jauhnya Senayan dari denyut kehidupan desa.
Pendamping desa mendengar keluhan sederhana: pupuk langka, harga sembako naik, dan biaya pendidikan semakin berat. Ironis ketika keluhan itu jarang masuk ke ruang-ruang rapat DPR. Yang justru muncul adalah wacana kenaikan tunjangan bagi para wakil rakyat.
Jurang itu melahirkan rasa keterasingan. Rakyat merasa kedaulatannya direduksi menjadi sekadar hak mencoblos lima tahun sekali. Setelah itu, wakil rakyat dianggap sibuk dengan urusan internal, lupa bahwa mandat sejatinya berasal dari suara rakyat.
Demonstrasi di Senayan menjadi refleksi ketidakpuasan. Namun alih-alih menjawab keresahan, DPR seolah bersembunyi di balik argumen teknis anggaran. Padahal, rakyat lebih membutuhkan kepekaan hati dibanding penjelasan angka-angka yang tidak menyentuh kebutuhan sehari-hari.
Kedaulatan rakyat semestinya tidak boleh berhenti pada prosedur pemilu. Kedaulatan itu harus hidup dalam kebijakan sehari-hari. Tanpa kepekaan, DPR hanya menjadi menara gading yang kokoh, namun rapuh karena berdiri di atas jurang ketidakpercayaan rakyat.
Polisi, Tanggung Jawab, dan Negara yang Lalai
Perhatian masyarakat kemudian bergeser pada peran Polri. Peristiwa tewasnya Affan menghadirkan pertanyaan besar: apakah aparat masih berdiri di sisi rakyat ataukah berubah menjadi alat kekuasaan yang menjaga stabilitas politik lebih dari melindungi kehidupan.
Di desa, masyarakat biasanya melihat polisi sebagai penjaga keamanan. Namun kabar dari ibu kota memberi gambaran berbeda. Aparat yang mestinya melindungi justru menimbulkan rasa takut. Penangkapan, pemukulan, hingga jatuhnya korban memperlihatkan lemahnya komitmen negara menjaga rakyatnya.
Keluarga Affan kini berduka. Kehilangan seorang anak muda yang menjadi tulang punggung keluarga tidak bisa digantikan dengan apapun. Luka itu tidak hanya milik keluarganya, tetapi juga menjadi luka kolektif yang mencerminkan kegagalan negara menjalankan kewajiban.
Publik menilai bahwa tanggung jawab Polri harus ditegakkan. Investigasi transparan dan sanksi jelas bukan sekadar tuntutan, melainkan prasyarat agar demokrasi tetap punya makna. Tanpa langkah tegas, kepercayaan pada institusi hukum akan semakin rapuh.
Kedaulatan rakyat tidak hanya soal memilih wakil, tetapi juga soal rasa aman ketika menyuarakan aspirasi. Jika rakyat harus membayar dengan nyawa, maka negara jelas telah mengabaikan prinsip paling dasar dari demokrasi itu sendiri.
Pesan dari Desa: Kedaulatan Harus di Tangan Rakyat
Dari desa, pesan yang ingin disampaikan sederhana: kedaulatan harus tetap berada di tangan rakyat. Itu bukan sekadar jargon, melainkan hakikat demokrasi. Wakil rakyat seharusnya mendengar, aparat seharusnya melindungi, dan kebijakan seharusnya berpihak pada rakyat kecil.
Tragedi Affan seharusnya menjadi cermin bagi DPR. Kedaulatan tidak bisa diukur dari fasilitas, tetapi dari kemampuan memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika wakil rakyat sibuk dengan tunjangan, maka mandat rakyat telah dikhianati dengan terang-terangan.
Kedaulatan rakyat juga menuntut Polri untuk berubah. Rakyat berhak menyuarakan aspirasi tanpa rasa takut. Aparat tidak boleh lagi hadir sebagai bayangan ancaman, melainkan sebagai pelindung. Itu cara negara membuktikan bahwa kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat.
Pendamping desa melihat tragedi ini sebagai peringatan keras. Bila kepekaan hilang, rakyat akan mencari jalannya sendiri. Sejarah menunjukkan, ketika kedaulatan dipinggirkan, rakyat akan bangkit menagihnya dengan cara yang tidak selalu damai.
Karena itu, pesan terakhir dari desa untuk Senayan jelas: turunkan ego, dengarkan suara rakyat, dan kembalikan kedaulatan pada tempatnya. Hanya dengan begitu, demokrasi dapat bertahan, dan tragedi serupa tidak lagi mengisi halaman sejarah bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI