Perhatian masyarakat kemudian bergeser pada peran Polri. Peristiwa tewasnya Affan menghadirkan pertanyaan besar: apakah aparat masih berdiri di sisi rakyat ataukah berubah menjadi alat kekuasaan yang menjaga stabilitas politik lebih dari melindungi kehidupan.
Di desa, masyarakat biasanya melihat polisi sebagai penjaga keamanan. Namun kabar dari ibu kota memberi gambaran berbeda. Aparat yang mestinya melindungi justru menimbulkan rasa takut. Penangkapan, pemukulan, hingga jatuhnya korban memperlihatkan lemahnya komitmen negara menjaga rakyatnya.
Keluarga Affan kini berduka. Kehilangan seorang anak muda yang menjadi tulang punggung keluarga tidak bisa digantikan dengan apapun. Luka itu tidak hanya milik keluarganya, tetapi juga menjadi luka kolektif yang mencerminkan kegagalan negara menjalankan kewajiban.
Publik menilai bahwa tanggung jawab Polri harus ditegakkan. Investigasi transparan dan sanksi jelas bukan sekadar tuntutan, melainkan prasyarat agar demokrasi tetap punya makna. Tanpa langkah tegas, kepercayaan pada institusi hukum akan semakin rapuh.
Kedaulatan rakyat tidak hanya soal memilih wakil, tetapi juga soal rasa aman ketika menyuarakan aspirasi. Jika rakyat harus membayar dengan nyawa, maka negara jelas telah mengabaikan prinsip paling dasar dari demokrasi itu sendiri.
Pesan dari Desa: Kedaulatan Harus di Tangan Rakyat
Dari desa, pesan yang ingin disampaikan sederhana: kedaulatan harus tetap berada di tangan rakyat. Itu bukan sekadar jargon, melainkan hakikat demokrasi. Wakil rakyat seharusnya mendengar, aparat seharusnya melindungi, dan kebijakan seharusnya berpihak pada rakyat kecil.
Tragedi Affan seharusnya menjadi cermin bagi DPR. Kedaulatan tidak bisa diukur dari fasilitas, tetapi dari kemampuan memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika wakil rakyat sibuk dengan tunjangan, maka mandat rakyat telah dikhianati dengan terang-terangan.
Kedaulatan rakyat juga menuntut Polri untuk berubah. Rakyat berhak menyuarakan aspirasi tanpa rasa takut. Aparat tidak boleh lagi hadir sebagai bayangan ancaman, melainkan sebagai pelindung. Itu cara negara membuktikan bahwa kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat.
Pendamping desa melihat tragedi ini sebagai peringatan keras. Bila kepekaan hilang, rakyat akan mencari jalannya sendiri. Sejarah menunjukkan, ketika kedaulatan dipinggirkan, rakyat akan bangkit menagihnya dengan cara yang tidak selalu damai.
Karena itu, pesan terakhir dari desa untuk Senayan jelas: turunkan ego, dengarkan suara rakyat, dan kembalikan kedaulatan pada tempatnya. Hanya dengan begitu, demokrasi dapat bertahan, dan tragedi serupa tidak lagi mengisi halaman sejarah bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI