Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tentang Ketakutan yang Membungkam

29 April 2025   07:44 Diperbarui: 29 April 2025   07:44 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber : Meta AI)

Disclaimer: Tulisan ini merupakan refleksi pribadi mengenai ketakutan dalam dunia kerja dan organisasi, tidak dimaksudkan menyinggung pihak manapun. Semua pendapat berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan lapangan penulis.

Ketakutan seringkali lahir dari sistem yang menuntut loyalitas tanpa ruang untuk kritik. Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977, h. 27) menjelaskan bahwa kontrol sosial dibangun melalui ketakutan yang dilembagakan dan disebarluaskan dalam berbagai bentuk organisasi formal.

Atasan yang takut pada tulisan bawahannya menunjukkan ketidakmampuan menerima evaluasi. Padahal, kritik yang sehat memperkuat organisasi, bukan melemahkannya (Foucault, 1977, h. 28), sebab dinamika sehat membutuhkan keterbukaan, bukan sekadar kepatuhan.

Banyak atasan melihat kritik sebagai ancaman terhadap kewibawaan. Menurut Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970, h. 69), rasa takut ini muncul dari budaya otoritarianisme yang melahirkan subordinasi buta di dalam organisasi kerja.

Diamnya rekan-rekan kerja dalam menghadapi ketidakadilan adalah manifestasi ketakutan kolektif. Freire (1970, h. 70) menyebutkan ketidakberdayaan ditanamkan melalui sistem yang terus-menerus menebar rasa takut dan ketidakpastian.

Lingkungan kerja yang kering data dan penuh tekanan memperkuat budaya membungkam. Richard Sennett dalam The Corrosion of Character (1998, h. 88) menggambarkan organisasi seperti ini sebagai ruang yang mematikan kreativitas dan merusak kepribadian personal.

Orang-orang memilih bungkam demi mempertahankan kenyamanan semu. Sennett (1998, h. 89) menulis bahwa ketakutan membuat individu mengorbankan prinsip demi ilusi stabilitas yang rapuh dalam ketegangan birokrasi modern.

Dalam budaya ketakutan, data yang seharusnya menjadi alat evaluasi diabaikan. Kebenaran dibungkam demi mempertahankan kekuasaan yang rapuh (Freire, 1970, h. 72), menjadikan birokrasi sarang kekeliruan yang terus berulang.

Tidak semua ketakutan lahir dari ancaman nyata. Foucault (1977, h. 29) menjelaskan bahwa ancaman simbolis, bahkan bisik-bisik tentang hukuman, cukup untuk membangun kepatuhan dalam sistem yang represif.

Ketika berbicara dianggap sebagai pembangkangan, organisasi kehilangan dinamikanya. Tanpa kritik dan dialog, organisasi akan membusuk dari dalam (Sennett, 1998, h. 91), sebab inovasi tumbuh dari ruang ketidakpuasan kreatif.

Sebagian orang menganggap menulis kritik sebagai bentuk bunuh diri karier. Namun, Rebecca Solnit dalam Hope in the Dark (2010, h. 102) menegaskan bahwa perubahan besar lahir dari keberanian kecil yang konsisten, bukan dari ketakutan abadi.

Menulis dan berbicara adalah bentuk tanggung jawab moral. Diam terhadap kesalahan berarti menjadi bagian dari kesalahan itu sendiri (Freire, 1970, h. 75), sebab dalam ketidakadilan, keheningan berarti persetujuan diam-diam.

Ketakutan dalam organisasi bagaikan kabut pekat yang melumpuhkan. Solnit (2010, h. 104) mengatakan bahwa di balik ketidakpastian itu selalu tersimpan peluang perubahan, menunggu keberanian untuk diwujudkan dalam tindakan nyata.

Banyak orang memilih diam bukan karena tidak tahu, melainkan karena merasa tak berdaya. Ini adalah bentuk kekalahan sistemik, seperti disebut Freire (1970, h. 77), hasil dari pendidikan ketakutan yang terstruktur.

Bahkan mengetahui ada kesalahan, banyak orang bertahan dalam ketidakadilan karena takut dihukum (Sennett, 1998, h. 92), melestarikan budaya bisu yang membuat perubahan menjadi sesuatu yang tampak mustahil.

Lebih parah lagi, untuk menutupi ketidakmampuannya memimpin, banyak atasan menebar ancaman pemecatan. Foucault (1977, h. 30) menjelaskan bahwa ancaman semacam ini berfungsi sebagai alat produksi rasa takut yang meluas.

Ancaman ini membunuh dialog dan mematikan kreativitas. Solnit (2010, h. 106) menunjukkan bahwa dalam ruang-ruang yang dipenuhi rasa takut, potensi individu terkubur jauh sebelum pernah benar-benar tumbuh menjadi nyata.

Kritik harus dipandang sebagai jalan menuju perbaikan, bukan sebagai ancaman. Freire (1970, h. 78) menegaskan bahwa pembebasan hanya mungkin terjadi bila keberanian untuk berbicara terus dirawat di dalam organisasi.

Dalam organisasi sehat, kritik adalah cermin untuk introspeksi. Foucault (1977, h. 31) menyatakan bahwa mekanisme kontrol perlu digantikan dengan partisipasi sadar, agar kekuasaan menjadi sarana produktivitas, bukan represi.

Ketika kebenaran menjadi sesuatu yang berbahaya untuk diungkapkan, maka sendi-sendi organisasi mulai rapuh. Solnit (2010, h. 108) memperingatkan bahwa hanya kejujuran yang mampu menyelamatkan masa depan institusi.

Ketakutan tidak boleh dibiarkan menguasai ruang kerja kita. Setiap individu berkewajiban menjaga integritasnya melalui suara dan tindakan (Freire, 1970, h. 80), bukan dengan berdiam diri dalam atmosfer intimidasi.

Bungkam bukanlah pilihan bagi yang peduli masa depan organisasi. Ketulusan dalam mengkritik adalah bentuk cinta yang terdalam (Sennett, 1998, h. 94), bukan bentuk perlawanan semata seperti yang sering disalahartikan.

Setiap tulisan, setiap suara, adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan struktural (Solnit, 2010, h. 110), sebuah upaya kecil untuk merebut kembali ruang keberanian dari genggaman ketakutan yang menyesakkan.

Keberanian tidak selalu berarti berteriak lantang. Terkadang, keberanian berarti menulis dengan konsisten walau tahu resikonya besar (Foucault, 1977, h. 32), sebab perubahan sering bermula dari tindakan kecil yang berani.

Semua perubahan besar lahir dari satu suara kecil yang bertahan. Solnit (2010, h. 112) mengingatkan bahwa harapan tumbuh justru dari keberanian sehari-hari, bukan dari revolusi dadakan yang mendadak muncul.

Kita tidak boleh menyerahkan masa depan kita kepada ketakutan. Kita harus memilih keberanian — keberanian untuk berbicara, menulis, dan bertindak (Freire, 1970, h. 82) demi organisasi yang lebih adil dan lebih manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun