Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Antara Portofolio dan Percaya Diri: Strategi Gen Z Menembus Dunia Kerja Pendampingan

6 April 2025   15:43 Diperbarui: 6 April 2025   15:43 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbincangan tentang Gen Z seperti tak pernah selesai. Generasi yang tumbuh dalam dunia digital ini selalu menarik untuk dibahas, terutama ketika mereka mulai masuk ke dunia kerja yang penuh dinamika dan persaingan yang semakin spesifik. Mereka hadir membawa semangat baru, cara pandang berbeda, dan harapan besar akan perubahan.

Salah satu peluang kerja yang kini mulai dilirik Gen Z adalah dunia pendampingan desa. Menjadi Pendamping Lokal Desa (PLD) tidak hanya berarti memiliki pekerjaan tetap, tetapi juga membuka ruang kontribusi nyata dalam pembangunan di akar rumput.

Namun, untuk bisa masuk dan diterima di dunia kerja program pendampingan desa bukan perkara mudah. Ada proses seleksi yang cukup ketat dan kompetitif. Dan dua hal yang sering menjadi titik lemah Gen Z justru adalah portofolio dan percaya diri.

Gen Z dikenal sebagai generasi yang kreatif, melek teknologi, dan cepat belajar. Tapi hal itu belum tentu terlihat jelas saat mereka mengirimkan lamaran atau menjalani wawancara kerja. Banyak dari mereka yang justru kurang mampu menunjukkan rekam jejak kontribusi sosial yang relevan.

Padahal, sebagai PLD, pengalaman di bidang sosial kemasyarakatan sangat dibutuhkan. Portofolio di sini bukan soal akademik semata, tapi tentang sejauh mana pelamar punya rekam aksi---baik sebagai relawan, penggerak komunitas, fasilitator, atau inisiator kegiatan di masyarakat.

Sayangnya, sebagian besar Gen Z belum memahami bahwa pengalaman-pengalaman itu bisa dan seharusnya disusun menjadi kekuatan dalam portofolio. Bukan sekadar daftar kegiatan, tapi disajikan dengan narasi peran, dampak, dan pelajaran yang mereka petik.

Portofolio yang baik bisa menjelaskan bahwa mereka bukan hanya paham teori, tapi juga pernah terlibat langsung dalam dinamika masyarakat. Ini menjadi nilai plus di mata tim seleksi, yang mencari orang-orang yang siap terjun, bukan sekadar pintar bicara.

Lebih jauh lagi, portofolio yang ditata rapi menunjukkan bahwa pelamar serius, punya arah, dan mampu merefleksikan pengalaman. Ini sekaligus jadi alat ukur apakah mereka cocok berada di lapangan, mendampingi masyarakat desa yang kompleks dan beragam.

Sementara itu, tantangan kedua adalah percaya diri. Tidak sedikit pelamar dari kalangan Gen Z yang gugup saat proses wawancara, bahkan untuk menjelaskan pengalaman diri sendiri. Ada yang terlihat ragu, terlalu singkat menjawab, atau sebaliknya---melebar tanpa fokus.

Padahal wawancara kerja untuk posisi PLD seringkali menguji bukan hanya isi kepala, tapi juga ketegasan sikap, empati, dan kemampuan komunikasi. Pelamar harus bisa menjelaskan dengan lugas: mengapa mereka tertarik jadi PLD dan apa kontribusi yang bisa mereka bawa.

Kepercayaan diri yang diperlukan di sini bukan sekadar percaya diri tampil, tetapi percaya pada nilai pengalaman hidup yang dimiliki. Sayangnya, sebagian Gen Z mengira harus "berpura-pura hebat" saat wawancara, padahal yang dinilai adalah keotentikan dan keterhubungan dengan realitas desa.

Percaya diri bisa dibangun dari proses reflektif---dengan memahami kekuatan dan kelemahan diri secara jujur, lalu berlatih menyampaikannya dalam format yang komunikatif dan membumi. Ini bukan hal instan, tapi bisa dilatih, bahkan dalam waktu singkat.

Sebelum melamar, penting bagi Gen Z untuk membaca ulang pengalaman mereka selama kuliah, di organisasi, atau dalam kegiatan sosial. Apakah mereka pernah memimpin program desa, mengelola kegiatan komunitas, menjadi fasilitator pelatihan, atau membuat konten edukatif yang berdampak?

Jika iya, semua itu bisa dijadikan amunisi utama dalam portofolio. Jangan remehkan kegiatan kecil seperti mendampingi anak-anak belajar, menginisiasi bank sampah, atau menjadi relawan bencana. Pengalaman-pengalaman tersebut sangat relevan untuk dunia pendampingan.

Langkah Pertama:

Langkah pertama untuk menembus program pendampingan adalah memastikan semua persyaratan dasar terpenuhi. Biasanya, kualifikasi minimal adalah lulusan D3 atau S1, diutamakan dari latar belakang yang pernah berkegiatan sosial atau organisasi kemasyarakatan.

Langkah Kedua:

Langkah kedua adalah aktif mencari informasi dari kanal resmi seperti situs Kementerian Desa atau Dinas PMD daerah. Banyak lowongan PLD diumumkan terbatas, dan mereka yang telat mendapatkan info seringkali tertinggal peluang hanya karena kurang up to date.

Langkah Ketiga:

Langkah ketiga adalah menyiapkan dokumen lamaran secara sungguh-sungguh. Ini termasuk membuat CV yang terstruktur, mencantumkan portofolio yang relevan, dan menulis surat motivasi yang kuat. Jangan sekadar copas dari internet, tapi tuliskan dengan nada personal dan jujur.

Langkah Keempat:

Langkah keempat adalah melatih diri menghadapi seleksi wawancara. Banyak Gen Z yang sebenarnya punya potensi besar, tetapi tersandung karena tidak siap mental dan tidak mampu menyampaikan ide secara sistematis. Padahal ide mereka bagus, hanya penyampaiannya kurang meyakinkan.

Untuk itu, penting melakukan simulasi wawancara. Bisa dengan teman, mentor, atau merekam sendiri saat berlatih menjawab pertanyaan. Lihat kembali: apakah jawaban kita jelas? Apakah kita mampu menjelaskan mengapa ingin bekerja di desa? Apa nilai tambah yang kita tawarkan?

Langkah Kelima:

Langkah kelima adalah membangun kehadiran digital yang positif. Tidak dapat dipungkiri, kini banyak recruiter yang melihat media sosial pelamar sebagai cerminan karakter. Gunakanlah platform digital untuk menunjukkan keterlibatan dalam isu-isu pembangunan dan sosial.

Postingan tentang kegiatan pemberdayaan, refleksi pribadi dari pengalaman organisasi, atau komentar kritis yang konstruktif tentang kebijakan desa---semua itu bisa membangun citra bahwa kita memang serius di dunia sosial, bukan hanya pencari kerja.

Pada akhirnya, menjadi Pendamping Lokal Desa bukan sekadar pekerjaan administratif. Ini adalah ruang pengabdian yang menuntut komitmen, empati, dan kesiapan belajar dari masyarakat. Dunia desa tidak bisa dipahami hanya dari layar laptop atau buku teks.

Gen Z yang mampu menggabungkan keterampilan digital mereka dengan kepekaan sosial akan menjadi kekuatan besar dalam program pendampingan. Mereka bisa mempercepat transformasi digital desa, menghadirkan inovasi berbasis data, dan membantu menghubungkan desa dengan dunia luar.

Namun, semua potensi itu tak akan berarti tanpa kesiapan dasar. Portofolio yang kuat dan kepercayaan diri yang stabil adalah dua pintu awal untuk bisa masuk dan bertahan dalam ekosistem kerja seperti PLD. Dunia kerja hari ini tidak hanya menuntut ijazah, tapi cerita.

Bukan cerita yang dibuat-buat, melainkan kisah nyata dari pengalaman, kesungguhan, dan nilai yang dibawa. Maka Gen Z perlu belajar menulis dan menyuarakan kisah mereka sendiri. Karena dari situlah recruiter bisa melihat: siapa kamu dan apa yang bisa kamu bawa ke desa.

Jika Gen Z mampu memetakan diri mereka dengan jujur---lewat portofolio yang tajam dan sikap percaya diri yang hangat---maka dunia pendampingan tidak hanya bisa mereka masuki, tapi bisa mereka warnai dengan cara-cara yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun