Kepercayaan diri yang diperlukan di sini bukan sekadar percaya diri tampil, tetapi percaya pada nilai pengalaman hidup yang dimiliki. Sayangnya, sebagian Gen Z mengira harus "berpura-pura hebat" saat wawancara, padahal yang dinilai adalah keotentikan dan keterhubungan dengan realitas desa.
Percaya diri bisa dibangun dari proses reflektif---dengan memahami kekuatan dan kelemahan diri secara jujur, lalu berlatih menyampaikannya dalam format yang komunikatif dan membumi. Ini bukan hal instan, tapi bisa dilatih, bahkan dalam waktu singkat.
Sebelum melamar, penting bagi Gen Z untuk membaca ulang pengalaman mereka selama kuliah, di organisasi, atau dalam kegiatan sosial. Apakah mereka pernah memimpin program desa, mengelola kegiatan komunitas, menjadi fasilitator pelatihan, atau membuat konten edukatif yang berdampak?
Jika iya, semua itu bisa dijadikan amunisi utama dalam portofolio. Jangan remehkan kegiatan kecil seperti mendampingi anak-anak belajar, menginisiasi bank sampah, atau menjadi relawan bencana. Pengalaman-pengalaman tersebut sangat relevan untuk dunia pendampingan.
Langkah Pertama:
Langkah pertama untuk menembus program pendampingan adalah memastikan semua persyaratan dasar terpenuhi. Biasanya, kualifikasi minimal adalah lulusan D3 atau S1, diutamakan dari latar belakang yang pernah berkegiatan sosial atau organisasi kemasyarakatan.
Langkah Kedua:
Langkah kedua adalah aktif mencari informasi dari kanal resmi seperti situs Kementerian Desa atau Dinas PMD daerah. Banyak lowongan PLD diumumkan terbatas, dan mereka yang telat mendapatkan info seringkali tertinggal peluang hanya karena kurang up to date.
Langkah Ketiga:
Langkah ketiga adalah menyiapkan dokumen lamaran secara sungguh-sungguh. Ini termasuk membuat CV yang terstruktur, mencantumkan portofolio yang relevan, dan menulis surat motivasi yang kuat. Jangan sekadar copas dari internet, tapi tuliskan dengan nada personal dan jujur.
Langkah Keempat:
Langkah keempat adalah melatih diri menghadapi seleksi wawancara. Banyak Gen Z yang sebenarnya punya potensi besar, tetapi tersandung karena tidak siap mental dan tidak mampu menyampaikan ide secara sistematis. Padahal ide mereka bagus, hanya penyampaiannya kurang meyakinkan.
Untuk itu, penting melakukan simulasi wawancara. Bisa dengan teman, mentor, atau merekam sendiri saat berlatih menjawab pertanyaan. Lihat kembali: apakah jawaban kita jelas? Apakah kita mampu menjelaskan mengapa ingin bekerja di desa? Apa nilai tambah yang kita tawarkan?
Langkah Kelima:
Langkah kelima adalah membangun kehadiran digital yang positif. Tidak dapat dipungkiri, kini banyak recruiter yang melihat media sosial pelamar sebagai cerminan karakter. Gunakanlah platform digital untuk menunjukkan keterlibatan dalam isu-isu pembangunan dan sosial.
Postingan tentang kegiatan pemberdayaan, refleksi pribadi dari pengalaman organisasi, atau komentar kritis yang konstruktif tentang kebijakan desa---semua itu bisa membangun citra bahwa kita memang serius di dunia sosial, bukan hanya pencari kerja.