"Tuhan, Nak, memberi kita dua kuping dan hanya satu mulut. Itu isyarat: lebih banyaklah mendengar, dan sedikitlah berbicara. Apalagi kalau bicaramu hanya menebar luka."
                                                                    **
Keesokan paginya, Andika datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Ia tak sempat belajar semalam, pikirannya penuh dengan satu niat: minta maaf. Ia tidak ingin kehilangan Rafi hanya karena satu kalimat yang tak bijak.
Di kantin, ia melihat Rafi duduk sendiri. Memandangi nasi goreng yang belum disentuh, seperti anak ayam kehilangan induk.
Andika berjalan pelan. Lalu duduk di kursi sebelahnya.
"Rafi..."
Rafi menoleh.
"Ya?"
"Aku minta maaf. Yang kemarin itu... aku cuma bercanda. Tapi ternyata tidak lucu buatmu. Aku benar-benar menyesal."
Rafi diam beberapa detik.
"Aku juga terlalu cepat naik darah, mungkin. Tapi... memang aku tersinggung."