Ibunya tersenyum tipis.
"Nak, dalam hidup ini tidak selalu soal siapa yang salah. Tapi siapa yang mau belajar dan memperbaiki. Kadang kita menuang teh ke gelas orang, maksudnya menghangatkan, eh malah kepanasan dan melukai."
Hening sebentar.
Lalu Andika mengangkat kepalanya, sorot matanya dalam dan penuh tanya.
"Bu... kenapa ya orang sering kali suka ghibah? Apa karena benci sama orang yang digunjingkan? Atau karena... iri?"
Ibu menatap anaknya dengan tatapan yang sarat dengan kasih dan kebijaksanaan.
"Nak, kalau ada orang yang ghibah, sebenarnya dia bukan sedang merendahkan orang yang dibicarakan. Tapi, ia sedang memamerkan kualitas dirinya sendiri di depan orang banyak. Sayangnya, ia tak sadar kalau yang ia pamerkan itu justru kekurangan. Ia sedang menelanjangi kekerdilan dirinya sendiri. Ghibah itu bukan soal benci, tapi soal luka dan rendahnya jiwa."
Andika menelan ludah.
"Jadi... bukan cuma yang digunjingkan yang terluka?"
"Betul, Nak. Yang menggibah pun menggali luka di hatinya sendiri. Kata Nabi, ghibah itu seperti makan bangkai saudaramu sendiri. Bayangkan, kamu mengunyah daging sahabatmu di depan orang lain sambil tertawa."
Lalu ibunya menatap jendela yang terbuka. Suara burung gereja mengisi ruang tamu yang mulai diterpa senja.