Mohon tunggu...
Imanuel  Tri
Imanuel Tri Mohon Tunggu... Membaca, merenungi, dan menghidupi dalam laku diri

di udara hanya angin yang tak berjejak kata. im.trisuyoto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ramadan dalam Kenangan

15 Juni 2020   18:09 Diperbarui: 15 Juni 2020   18:02 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gbr.diolah dari Inkuiri.com

Ramadan baru saja berkelebat lewat.
Indahnya masih melekat kuingat:

Gelap malam terkalahkan. Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran tak henti bertalian. Menjelang subuh bunyi ketong ditabuh memanggil membangunkan.  

Kabar WA dari tetangga, dari teman, dari saudara, juga handai taulan. Kabar saling peduli di pagi hari membangunkan. Sahur, sahur, sahur, bersautan mengingatkan agar tak kesiangan. 

Ramandan baru saja berkelebat lewat.
Indahnya masih melekat kuingat:

Ketikasenja belum lagi menua. Anak-anak berwajah ceria di halaman surau desa. Suaranya berdesah-desah indah beribadah. Tadarus terus menerus terdengar dari mereka. 

Suara bapa bapa membentuk lautan surga hingga senja benar-benar tiba. Mahrib menjadi begitu karib dengan kehidupan. Tarwih menjadi begitu khusuk di atas sajadah persujudan. Tak ada yang kurang indah, hidup seakan sempurna.  

Ramadan baru saja berkelebat lewat.
Indahnya masih melekat kuingat:

Keindahannya lebih dari suara tadarus dan alunan ayat-ayat suci Al -Quran. Tatanan kehidupan begitu tentram kurasakan. Sandang dan makanan dibagi-bagikan penuh ketulusan. Tenaga raga dan pikiran jiwa banyak disedekahkan.  

Tegur santun penuh peduli mengalir dari setiap hati. Astagfirullahallazim, berulang kali menghisi waktu sepanjang hari. Semua demi menjaga hidup tak terzalimi. 

 "Astagfirullahallazim, sudahlah ini bulan puasa," katamu mengingatkan.
"Astagfirulahallazim, bulan puasa lo, ya!" ucapmu meredakan.
"Astagfirulahallazim, berhentilah, ini puasa lo!" lagi-lagi kamu peduli. 

Semua angkara teredam diam.
Dusta tak lagi bisa melunjak karena dibuai kasih sayang.
Hidup tenteram berbalutkan keseimbangan.

Ramadan baru saja berkelebat lewat, ketika Syawal datang dengan dendang. Riuhnya anak-anak tadarus hilang tak lagi berkumandang. Semarak bunyi penggugahku dari mimpi tak terdengar lagi. Semangat hati berbagi juga tak lagi kunikmati.

Astagfirullahallazim, astagfirullahallazim. Ataukah Ramadan perlu dipanjangkan dua belas bulan, hingga indahnya  tak  tinggal hanya kenangan!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun