Sri memasang topeng kembali, menutupi wajahnya yang memerah. “Baik! Kalau dengan cara itu kamu akan menyandingkanku dengan sikulit pucat itu, cucu Mbah Panji akan meladeni.” Geramnya.
Orang asing itu tak butuh lama menyelaraskan dengan tetabuhan gamelan yang dipandegani Mbah Min. Malam itu ia membuka pertunjukan dengan tari Beskal. Sri melirik-lirik solah tingkahnya. Dan matanya lebih menancap kepada wajah penonton. Ia saksikan kemeriahan yang meletup dari sorot mata dan rasa suka mereka. Sri mongkok. Dia cemburu. Semangatnya pecah menjadi bara yang menyala-nyala.
Akhirnya, suatu saat Mario menemuinya. Ia mengatakan Gubernur minta perempuan mancung itu membawakan tari Beskal di Pendopo Gubernuran dalam pembukaan fistival seni sepropinsi. Sri tidak menjawab. Ia rontok. Luruh berkeping-keping bersama tetesan air mata.
***
Sekarang, Sri di ujung jalan.
“Aku sudah mendatangi Mbah Panji.” Kata Sri padaku setelah menceritakan penggalan kisahnya. Penggalan yang memisahkannya denganku, yang berakhir dengan perjumpaan kami malam ini.
“Air mataku telah tuntas di pusara itu.” Katanya meneruskan. “Tetesannya mengiba untuk diampuni Mbah Panji, ampun beribu ampun. Namun begitu masih penuh rasanya di dalam dada ini.”
Sri menghela nafas.
“Peti telah aku turunkan dari gudang. Kaus kaki telah aku gulung; gongseng telah aku ikat; kostum telah aku bungkus dalam plastik; selendang tersisipkan di dalamnya. Topeng telah aku lepas, aku letakkan dalam kain mori, sebungkus bersama peralatan lain. Aku menguburnya ke dalam peti itu.”
Angin berdesir pelan, burung gagak mengoak, mendung menggelantung di atas genting. Aku menyaksikan duka yang hitam di wajah adikku, Sri.
“Pikirkan lagi masak-masak.” Saranku gamang.