Sri mengira upacara-upacara leluhur itu usai malam itu. Namun, nyatanya masih berderet jadwal tak tertulis harus dia lalui. Malam demi malam menyelimutinya dengan bau wewangi bunga dan asap kemenyan. Suatu malam Mbah Panji bilang, “Kamu telah mendapatkan topeng yang tepat.” Topeng itu adalah tokoh yang melekat pada Mbah Panji; topeng Panji Raden Gunung Sari.
“Jagat topeng akan menjadi riuh.” Katanya tanpa Sri mengerti maksudnya.
Sri merasa melambung ke angkasa. Artinya, Sri akan menjadi pewaris tunggal watak Panji Raden Gunung Sari. Namun, ada kabar yang mengejutkan menjelang gerak tarinya akan disempurnakan. Kabar yang selama ini mengkhawatirkannya. Kabar yang tidak bisa dicegah. Mbah Panji meninggalkan kami semua.
Kepergian ketika Sri hendak melangkah masuk pintu gerbang kesenian sakral itu. Sri jatuh lagi di lembah cita-cita. Harusnya, sebentar lagi ia akan melakukan mbarang4) untuk mengujinya, menyatukan Panji baru dengan para penganut setianya. Sri menjadi buah yang masih hijau yang tak tahu besok akan masak atau berjatuhan diterpa angin.
Mario mendekapnya. Ia berbisik, “Ikhlaskan. Aku akan mendampingimu.” Bunga mekar dalam hatinya. Tapi apakah anak ingusan itu dapat mengganti Mbah Panji, sang Empu?
Seratus hari sesudah Mbah Panji terbang ke swarga loka, Sri naik pentas bersama kelompok wayang topeng ini. Pertama kali ia mengenakan kostum Panji Raden Gunung Sari. Badannya mandi air keringat. Berat menyanggah pusaka itu. Mario memberikan komentar dengan senyuman saja. Tapi peduli amat dengan Mario. Dia belum mengerti isi tarian ini. Anak kota yang hanya tahu kulitnya saja.
Pada gebyag5) Selasa Legi untuk memberikan persembahan kepada leluhur mereka, Mario membawa teman perempuan yang hidungnya mancung. Mario memperkanalkan padanya, adik kelas yang suka pada kesenian tradisional kita. Kata Mario, ia bisa menari juga.
Sri pertontonkan pesonanya dengan gairah yang membuncah. Ia ingin katakan kepada Mario dan boneka India itu, dialah murid Mbah Panji yang telah menyerap kepiawaiannya itu. Kalau pada seluruh bagian dia boleh menari, dia akan tunjukkan pada mereka seluruh panggung ini hanya kepunyaannya. Namun, mengemban lakon Panji Raden Gunung Sari cukuplah untuk membuka mata mereka.
Sri lewat depan hidung mereka ketika turun dari panggung. Mario menyambutnya dengan berdiri dan berbisik, “Kamu menari apa sedang kalap?”
Sri hampir saja menamparnya. Untung sedang banyak orang di sekeliling mereka.
“Tapi dia memujimu. Ingin menari bersamamu.” Katanya dengan muka menyala.