"Langit boleh mendung, tapi semangat jurnalis tak pernah redup oleh cuaca."
Hari ini, langit tampak kelabu. Hujan turun pelan-pelan seperti puisi yang dituliskan langsung oleh langit. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan dini untuk sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan. Cuaca ekstrem mengintai. Angin, hujan deras, dan suhu yang tak bersahabat menjadi bayang-bayang yang menyelimuti hari.
Namun tidak bagi seorang jurnalis.
Bagi kami, cuaca bukan penghalang, melainkan bagian dari cerita yang harus dirasakan. Meski Jumat ini---18 April 2025---adalah hari libur nasional dalam rangka memperingati Wafat Isa Al-Masih, langkah kaki tetap tak terhenti. Bukan karena beban, tapi karena panggilan hati. Inilah romantika yang tak banyak orang tahu: bekerja dalam keheningan gerimis, menulis dalam gemuruh hujan, mendengar suara rakyat meski tertutup deru angin.
"Jurnalisme, bagiku, bukan sekadar profesi. Ia adalah cara mencintai dunia dalam diam."
Beginilah tugas jurnalis," ujarku dalam hati, "Ia hadir untuk merekam detak kehidupan, dalam situasi apapun."
Setiap langkah, setiap pandangan, setiap percakapan yang kutemui di lapangan, bukan hanya berita. Ia adalah fragmen-fragmen kehidupan yang kaya makna. Di balik kisah pilu, ada harapan. Di balik laporan kritis, ada cinta akan kebenaran.
Yang membuat semuanya berbeda: aku menjunjung jurnalisme solusi. Di sanalah kutemukan keindahan sejati profesi ini. Tak hanya menyampaikan keluhan warga, tapi juga menjadi jembatan menuju penyelesaian. Kami tidak hanya membawa kabar, kami membawa harapan. Lewat pendekatan partisipatif, suara rakyat tidak hanya didengar, tapi juga diberdayakan.
Cuaca ekstrem? Biarlah. Langit kelabu? Tak mengapa. Semua itu hanya latar dari sebuah pertunjukan yang lebih besar: dedikasi tanpa batas.
Ada kepuasan yang tak bisa dijelaskan ketika pulang ke rumah dengan pakaian sedikit basah, catatan penuh, dan hati yang hangat. Kepuasan karena tahu, hari ini, meski badai datang, ada satu suara masyarakat yang berhasil kutulis. Ada satu harapan yang sempat terangkat ke permukaan.
Inilah romantika seorang jurnalis. Ia bukan sekadar pencatat peristiwa. Ia adalah pejalan sunyi yang jatuh cinta pada kehidupan, dan tak pernah berhenti mencari makna di setiap gelombang kenyataan.Â
Seorang jurnalis bukan hanya mencatat, tapi merasakan. Ia menulis dengan pena, dan juga dengan hati."(jurnalis-bertasbih)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI