ADHD: Lebih dari Sekadar Checklist
Pernahkah kamu merasa otakmu seperti kanal televisi dengan ratusan saluran yang terus berganti tanpa kendali? Atau seperti peramban internet dengan 50 tab terbuka sekaligus dan kamu bahkan tidak ingat mengapa membuka sebagian besar dari mereka? Selamat datang di dunia ADHD.
Sebagai seseorang yang tumbuh dengan ADHD dan disleksia, aku tahu rasanya duduk di kelas sambil mencoba fokus, tetapi pikiranku melayang ke mana-mana. Guru berbicara, tetapi aku justru bertanya-tanya mengapa langit lebih biru di pagi hari dibandingkan sore. Aku ingin memperhatikan, sungguh. Namun, otakku sibuk sekali.
Ketika didiagnosis pada usia sembilan tahun, aku berharap ada jawaban pasti seperti resep ajaib yang bisa "menormalkan" aku. Namun, dunia tidak sesederhana itu. ADHD bukanlah sekadar daftar gejala yang bisa dicentang dalam formulir. ADHD adalah cara otak memproses dunia dengan cara yang berbeda.
Saat ini, banyak orang yang dengan mudah mengklaim, "Mungkin aku ADHD juga," hanya karena mereka sulit fokus atau sering lupa menaruh kunci. Faktanya, ADHD jauh lebih kompleks dari sekadar gangguan perhatian. Dr. Russell Barkley, salah satu ahli ADHD terkemuka, menjelaskan bahwa ADHD adalah gangguan pada fungsi eksekutif kemampuan otak untuk merencanakan, mengatur, mengontrol impuls, dan mengelola waktu.
Checklist gejala yang beredar di internet sering kali tidak menggambarkan kompleksitas ADHD, karena:
- ADHD adalah spektrum: Tidak semua penderita ADHD mengalami gejala yang sama atau dengan intensitas yang sama.
- Konsep waktu berbeda: Orang dengan ADHD tidak sekadar pelupa; mereka memiliki persepsi waktu yang berbeda. "Sekarang" dan "nanti" bisa terasa seperti dua dunia yang terpisah jauh.
- Fokus yang paradoksal: Ironisnya, ADHD bukan hanya soal kurang fokus, tetapi juga terlalu fokus (hyperfocus) pada hal yang menarik, sering kali sampai lupa makan atau tidur.
- Komorbiditas tinggi: ADHD sering datang bersama kondisi lain, seperti disleksia (seperti yang aku alami), kecemasan, atau depresi. Ini membuat diagnosis semakin rumit.
Sebagai guru anak berkebutuhan khusus, aku melihat wajah-wajah kecil yang seperti cermin dari masa laluku. Anak-anak yang sering dianggap "malas", "tidak mendengarkan", atau "tidak cukup berusaha". Aku melihat diriku dalam mereka anak yang ingin memahami dunia tetapi terjebak dalam cara otaknya sendiri bekerja.
Aku melihat anak dengan ADHD yang dipaksa duduk diam selama berjam-jam, padahal otaknya lebih hidup saat ia bergerak. Aku melihat anak dengan disleksia yang takut membaca keras-keras di depan kelas, karena huruf-huruf masih saja "menari" di depannya. Dan aku paham betul rasa frustasi mereka.
Profesor Thomas Brown, seorang ahli ADHD, menjelaskan bahwa gangguan ini bukan tentang tidak bisa fokus, tetapi tentang tidak bisa fokus pada hal yang tidak menarik bagi otak ADHD. Seorang anak dengan ADHD bisa menghabiskan berjam-jam mendesain dunia Minecraft dengan detail luar biasa, tetapi berjuang menyelesaikan tugas matematika selama 10 menit. Ini bukan soal kemalasan ini soal bagaimana otak ADHD mencari stimulan.
Sebagai guru, aku tidak ingin mengulang kesalahan masa laluku. Aku ingin memastikan bahwa tidak ada anak yang merasa "bodoh" hanya karena mereka belajar dengan cara yang berbeda.