Mohon tunggu...
Ilma zahrotunnaili
Ilma zahrotunnaili Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya

:)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengulas Kemiskinan di Tingkat Desa

16 Agustus 2019   20:36 Diperbarui: 16 Agustus 2019   20:39 6956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Pada setiap negara, baik negara maju atau berkembang mengalami masalah kemiskinan, sehingga bisa dibilang bahwa kemiskinan bagaikan hantu yang menghantui setiap negara di seluruh dunia. Walaupun masalah kemiskinan sudah menjadi masalah seluruh dunia sejak lama, namun kemiskinan tetap menjadi masalah terberat yang sulit diatasi, seakan sudah menjadi masalah yang mengakar dan masalah yang pasti dihadapi seluruh dunia. Butuh waktu dan strategi yang tepat untuk memberantas atau setidaknya mengurangi tingkat kemiskinan yang ada.

Di indonesia sendiri, menurut data dari BPS yang dirilis pada tahun 2018, tingkat penduduk miskin lebih banyak berada di desa daripada di kota. Menurut salah satu berita di media online ekonomi.kompas.com, presentase kemiskinan di desa sebanyak 13,20% sedangkan di kota sebanyak 7,02%. 

Tingkat kemiskinan di desa bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya kurangnya lapangan pekerjaan, daerah yang masih terisolasi, dan minimnya informasi dan rendahnya tingkat pendidikan serta pengetahuan masyarakat desa. Beberapa alasan tersebut biasanya juga menyebabkan kemiskinan menjadi identik dengan lingkungan yang kotor, kumuh, dan sulit diatur. 

Namun, dalam beberapa kurun waktu terakhir, tingkat kemiskinan di desa mengalami penurunan seiring dengan penambahan anggaran dana desa. Walaupun tingkat kemiskinan di desa sudah mulai menurun, masalah kemiskinan ini tidak boleh untuk diabaikan, pemerintah harus tetap memantau dan mencari solusi untuk memberantas kemiskinan 100%. 

Karena tingkat kemiskinan di desa akan mempengaruhi kualitas pemerintahannya dan akan berdampak pula pada pemerintahan pusat. Bahkan, kemiskinan juga mampu menjadi parameter untuk mengukur kemajuan sebuah negara. Jadi, masalah kemiskinan harus diselesaikan dengan baik.

Konsep Kemiskinan

Pada dasarnya, kemiskinan yang seringkali dipahami dengan taraf hidup yang rendah, dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana penduduknya ditandai dengan kehidupan yang serba kekurangan, utamanya kekurangan akan kebutuhan pokok. 

Menurut Widodo (1997), konsep kebutuhan dasar selalu dikaitkan dengan kemiskinan karena masalah kemiskinan merupakan obsesi bangsa dan persoalan dasar yang harus ditangani. Penduduk miskin umumnya tidak berpenghasilan dan umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan aksesnya terbatas pada segi ekonomi sehingga tertinggal dari masyarakat lainnya.

Bank Dunia (2014) yang dikutip oleh Prayitno (2014) menjelaskan bahwa kemiskinan memiliki tiga dimensi (aspek atau segi), yaitu: (1) kemiskinan itu multidimensional. Artinya, karena kemiskinan itu bermacam-macam sehingga memiliki banyak aspek; (2) aspek-aspek kemiskinan tadi saling berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung; dan (3) bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individual ataupun kolektif.

Secara ekonomi, kemiskinan dapat diartikan sebagai kurangnya sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Maksud dari sumberdaya di sini tidak hanya dari segi finansil, namun termasuk semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang lebih luas. 

Berlandaskan pada konsep ini, kemiskinan bisa diukur secara langsung dengan cara menetapkan persediaan sumber daya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan istilah garis kemiskinan (poverty line). 

Kemudian secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari kemampuan akses terhadap kekuasaan (power). Kekuassan dalam hal ini menyangkut tatanan sistem politik yang dapat menentukan sekelompok orang untuk menjangkau dan mengelola sumber daya.

Selanjutnya kemiskinan jika dilihat secara sosial-psikologis merujuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesampatan untuk meraih peningkatan produktivitas. 

Kemiskinan secara sosial-psikologis dapat pula dipahami sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor penghambat yang berpotensi mencegah atau menjadi rintangan seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dalam masyarakat. 

Faktor penghambat ini meliputi faktor internal yang datang dari masyarakat miskin itu sendiri dan faktor eksternal yang datang dari kemampuan orang lain namun masih berkaitan, misalnya birokrasi atau peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang untuk memanfaatkan sumber daya.

Jenis dan Penyebab Kemiskinan 

Jenis-jenis kemiskinan dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu: (a) kemiskinan absolut: terjadi jika pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi sandang, pangan, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk menopang kehidupan dan bekerja; (b) kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan; 

(c) Kemiskinan kultural: merujuk pada masalah sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan faktor budaya, seperti tidak mau memperbaiki tingkat kehidupan, malas, boros, tidak kreatif walaupun ada motivasi dan bantuan dari luar; dan (d) kemiskinan struktural: kemiskinan yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung terbebasnya dari kemiskinan.

Tetapi seringkali menyebabkan kemiskinan tumbuh subur. Menurut Jarnasy, kemiskinan struktural lebih banyak menjadi sorotan sebagai penyebab perkembangan dan tumbuh suburnya ketiga jenis kemiskinan yang lainnya.

Selain keempat jenis kemiskinan di atas, kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan (artificial). Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam, prasarana umum, dan keadaan tanah yang tandus. 

Sedangkan kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasi sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi secara merata.

Mengenai penyebab kemiskinan, Nasikun mengemukakan beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu: (a) policy induces process: proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (included of policiincluded of policy), misalnya adalah kebijakan ati kemiskinan yang realitanya justru melestarikan kemiskinan itu sendiri; (b) socio-economic dualism: negara eks-koloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi pada ekspor; 

(c) Population growth: perspektif yang didasari pada teori Matlthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedang pertambahan pangan seperti deret hitung. (d) Resource management and the environment: adanya unsur mismanagement sumber daya alam dan lingkungan, misalnya manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas; (e) Natural cycles and processes: kemiskinan terjadi karena siklus alam. 

Contohnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan banjir dan jika musim kemarau akan kekeringan, sehinga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus menerus; (f) The marginalization of woman: diskriminasi atau peminggiran para perempuan dengan alasan perempuan masih sering dianggap sebagai golongan yang ada di posisi kelas dua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerjanya diberikan lebih rendah daripada laki-laki; 

(g) Cultural and ethic factors: bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Contohnya pola hidup konsumtif petani dan nelayan ketika musim panen, serta adat istiadat yang konsumtif ketika melakukan upacara adat atau keagamaan; (h) Explotative intermediation: keberadaan penolong yang menjadi penodong, contohnya seorang rentenir (lintah darat); 

(i) Internal politic fragmentation and civil state: kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang pengaruh politiknya kuat, berpotensi menjadi penyebab kemiskinan; dan  (j) International processes: bekerjanya sistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi miskin.

Kemudian untuk penyebab kemiskinan di desa, secara khusus disebabkan oleh keterbatasan aset yang dimiliki, yaitu: (a natural assets: seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya; (b) human assets: menyangkut kualitas SDM yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat kota; 

(c) Physical assets: minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum; (d) financial assets: berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh modal usaha; dan (e) social assets: berupa jaringan, kontak, dan pengaruh politik, dalam hal ini bergaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.

Kemiskinan di Tingkat Desa

Menurut Bank Dunia (The World Bank/WB), kemiskinan di desa-desa di Indonesia masih menjadi fenomena karena jumlahnya yang masih cukup  besar baik dalam nilai absolut ataupun tingkat (ratio) kemiskinan. Pada Maret 2018, 61,9% penduduk miskin menempati daerah pedesaan dan tingkat kemiskinannya mencapai 13,2%. 

Hal ini menurut Bank Dunia hampir dua kali lipat dari 7% tingkat kemiskinan di daerah perkotaan. Kemiskinan di tingkat desa menurutnya dikarenakan keterbatasan mengakses pekerjaan yang layak, pasar, kesehatan, dan pendidikan dibandingjan dengan perkotaan.

Realitas kemiskinan di desa ini sungguh menjadi ironi. Karena, pertama desa adalah tempat produksi bahan-bahan pangan masyarakat. Sawah-sawah dan kebun umumnya ada di desa dan desa menyediakan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat; kedua, dalam empat tahun terakhir pemerintah desa berdasarkan UU No.6 tahun 2014 tentang desa diberikan kewenangan lokal berskala desa, dan desa juga mendapat dana transfer dari pusat berupa dana desa, di samping Alokasi Dana Desa. 

Jumlah seluruhnya kurang lebih sekitar Rp.1,2M hingga Rp.2M per desa sesuai dengan tingkat kemiskinan, luas, infrastruktur, dan tingkat kesulitan medan desa; ketiga, pengalokasian dana desa secara nasional selalu mengikat signifikan setiap tahun. 

Pada 2015 dialokasikan sebesar Rp. 20,77T dan meningkat menjadi Rp. 46,98 T pada 2016, dan pada 2017 dan 2018 alokasinya kembali meningkat menjadi Rp.60T dan pada 2019 direncanakan akan naik lagi hingga Rp. 80T; keempat, sesuai dengan konsep Nawacita nomor tiga dalam masa pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, pembangunan dimulai dari pinggiran, banyak program yang menyasar ke pedesaan, mulai program infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, dll; dan terakhir kelima, pemerintah desa mendapatkan fasilitas tenaga pendamping desa, yang keberadaannya melekat pada UU No.6 tahun 2014 tentang desa.

Kenaikan Dana Desa Sebagai Strategi Untuk Menurunkan Tingkat Kemiskinan di Desa

Sesuai yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 20014 Pasal 1 ayat 2 tentang dana desa yang sumbernya dari Anggara Pendapatan dan Belanja Negara, menjelaskan bahwa dana desa merupakan dana yang sumbernya dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang disalurkan untuk desa dan ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanjaa Daerah Kabupaten/Kota dan diperuntukkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Mengenai kenaikan dana desa, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo mengatakan bahwa melalui dana desa, dirinya yakin dapat menurunkan angka kemiskinan di pedesaan, karena melalui kenaikan dana desa itulah perekonomian di pedesaan mampu mengalami peningkatan. 

Seperti dalam teori Kunzet, setiap kenaikan income per kapita di daerah miskin itu akan didahului kenaikan gini rasio sesaat, sampai orang kaya benar-benar kaya, karena gini rasio diukur dari spendingnya kelompok masyarakat.

Contoh keberhasilan dari kenaikan dana desa yang bertujuan untuk menurunkan angka kemiskinan dapat dilihat dari angka kemiskinan di pedesaan yang turun cukup tinggi dibandingkan perkotaan.

Selain itu, bukti dari kenaikan dana desa mampu menurunkan tingkat kemiskinan dapat dilihat dari ketika tahun 2016 dengan anggaran dana desa Rp.46,98T, pada Maret 2017 angka kemiskinan berada pada 10,64% atau 27,77 juta. 

Kemudian tahun 2017 dengan anggaran dana desa Rp.60T selama setahun dari Maret 2017 sampai Maret 2018 dengan peningkatan dana desa sebanyak 13,02T, mampu menurunkan angka kemiskinan ke level 9,82% atau setara dengan 25,95 juta orang.

Cara Menanggulangi Kemiskinan di Desa

Dalam teori ekonomi, untuk memutus mata rantai lingkaran setan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan ketrampilan sumber daya manusia, penambahan modal investasi untuk masyarakat, dan mengembangkan teknologi.[15] Tak terkecuali di desa, upaya menanggulangi kemiskinan di desa dapat dilakukan dengan cara: (1) memberikan kesempatan luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh layanan pendidikan memadai dan gratis; (2) redistribusi lahan dan modal pertanian yang seimbang; 

(3) Mendorong perkembangan investasi pertanian dan pertambangan ke daerah pedesaan; (4) membuka kesempatan luas kepada masyarakat desa memperoleh kredit usaha yang mudah; (5) memperkenalkan sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan pendapatan yang lebih memadai; (6) mendorong agenda pembangunan daerah yang prioritas utamanya adalah untuk memberantas kemiskinan.

Untuk memperoleh keberhasilan dari upaya di atas, diperlukan unsur pendukung antara lain; (1) upaya penanggulangan kemiskinan tersebut dilakukan menyeluruh, terpadu, lintas sektor, sesuai kondisi dan budaya lokal; (2) program melibatkan dan merupakan hasil proses dialog berbagai pihak dan konsultan bersama segenap pihak yang berkepentingan, utamanya masyarakat miskin; 

(3) Menyediakan ruang gerak seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menuangkan ide dan kreativitasnya; (4) pemerintah dan beberapa pihak lain harus bergabung untuk saling mendukung dan menguatkan; (5) mereka yang bertanggungjawab dalam menyusun anggaran belanja harus sadar akan pentingnya penanggulanan kemiskinan sehingga upaya ini ditempatkan pada prioritas utama dalam setiap program di setiap instansi.

Jika hal ini dapat terlaksana dengan baik, upaya penanggulangan kemiskinan berpotensi besar keberhasilannya dan akan benar-benar menjadi gerakan yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat sebagai sasaran utamanya.

Penutup 

Penuntasan masalah kemiskinan harus diselesaikan dengan baik. Kemajuan suatu negara juga bergantung pada angka kemiskinan penduduknya. Karena tingkat kemiskinan lebih banyak di desa daripada di kota sejak tahun 1993, pemerintah Indonesia pada tingkat desa khususnya harus lebih berusaha untuk mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Kalaupun tidak bisa tuntas 100%, setidaknya terus berusaha mengurangi angka kemiskinan yang ada.

Selain itu, anggaran dana desa yang cenderung bertambah setiap tahunnya harus benar-benar digunakan dengan baik sehingga mampu menyentuh masyarakat miskin yang ada di desa. Upaya untuk mengentaskan kemiskinan memang tidak bisa dilakukan begitu saja, atau istilahnya dilakukan dengan usaha yang minimal namun mengharapkan hasil yang optimal. 

Diperlukan kerjasama semua pihak dan usaha yang benar-benar serius serta komitmen pemerintah desa, pemerintah pusat, masyarakat, dan mungkin swasta atau semua pihak yang terlibat, agar bisa melihat kemiskinan sebagai masalah fundamental yang harus ditangani dengan baik.

Daftar Pustaka 

Jurnal

Prawoto Nano, 2009, Memahami Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya, Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan Vol.09 No.01.

Riyanto Teguh, 2015, Akuntabilitas Finansial dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kantor Desa Perangat Selatan Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara, eJournal Administrasi Negara, Vol.3 No.01.

Sartika C., Balaka Y.M., dan Rumbia A.W., 2016, Studi Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Masyarakat Desa Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna, Jurnal Ekonomi (JE). Vol.1 No.1.

Suryawati Chriswardani, 2005, Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional,  Jurnal JMPK, Vol.08 No.03.

Waluyo Eko Dwi, 2006, Studi Tentang Bentuk Kemiskinan Penduduk Di Desa

Cindogo Kecamatan Tapen Kab. Bondowoso, Jurnal Humanity, Vol. 1 No.2.

Media Online

CNBC Indonesia, 21 September 2018.

Detik.com, 11 Oktober 2018.

Ekonomi.kompas.com, 18 Juli 2018

Okezone.com, 21 Agustus 2018.

WEB

Siti Saniah. "Upaya Menanggulangi Kemiskinan di Desa".  2012. http://www.sapa.or.id/lp/120-ntb/4032-penanggulangan-kemiskinan-upaya-menanggulangi-desa-tkpkd-jamkesmas.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun