Gelombang demonstrasi yang melanda berbagai kota di Indonesia dalam sepekan terakhir mengguncang stabilitas sosial dan politik. Dari Jakarta, Makassar, Medan, hingga NTB, aksi massa yang berawal dari isu kenaikan tunjangan DPR/DPRD menjelma menjadi kemarahan nasional. Gedung terbakar, korban jiwa berjatuhan, dan rupiah kian tertekan.
Demonstrasi besar-besaran ini tidak lahir begitu saja. Ia merupakan akumulasi dari ketidakpuasan publik terhadap elit politik yang dianggap lebih mementingkan kenyamanan sendiri dibanding kesejahteraan rakyat.
Pemicu langsungnya adalah kebijakan kenaikan tunjangan legislatif. Di saat rakyat berjuang menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, DPR justru menyetujui tambahan fasilitas bagi anggotanya.
Keputusan itu memicu reaksi keras di media sosial. Tagar #RakyatLawanElit dan #TurunKeJalan langsung menjadi trending, membakar semangat protes di berbagai daerah.
Di Jakarta, ribuan orang berkumpul di depan DPR RI dan Polda Metro Jaya. Situasi memanas ketika massa membakar barikade dan masuk ke tol dalam kota, memicu kemacetan parah.
Polisi merespons dengan gas air mata dan water cannon. Namun bentrokan tidak terhindarkan, bahkan beberapa kendaraan terbakar.
Di Makassar, amarah massa meledak lebih hebat. Gedung DPRD Sulawesi Selatan diserbu dan dibakar. Tiga orang tewas, sebagian besar karena terjebak dalam kobaran api.
Salah satu korban adalah mahasiswa yang sempat berusaha menyelamatkan dokumen dari gedung. Dua lainnya warga sekitar yang tidak sempat menghindar.
Tragedi juga terjadi di Jakarta. Seorang pengemudi ojek online tewas setelah terlindas kendaraan taktis saat aparat melakukan pengendalian massa. Peristiwa ini menambah luka dalam bagi publik.
Di Medan, Bandung, Yogyakarta, dan NTB, demonstrasi berlangsung dengan pola serupa yaitu long march, orasi, lalu bentrokan. Sejumlah kantor DPRD menjadi sasaran pelemparan batu dan pembakaran ban.