Tak mungkin aku merogoh kocek lebih dalam demi Star FC. Nanti karyawanku mau digaji apa. Nanti keperluan keluargaku bagaimana. Aku merasa sudah buntu. Sudahlah aku lakukan saja jalan terakhir.
Saat temu manajer, aku lihat manajer Torpedo FC, calon lawan kami sangat cerah. Dia ceria. Padahal aku tahu bahwa Torpedo bakal kami hajar.
Aku coba bicara berdua baik-baik. Ah, aku bersyukur karena dia mau deal denganku. Aku minta Rp 1 miliar dan agar sebagian pemainku diambil Torpedo musim depan. Aku beri empat pemain terbaik dan berkelas. Kalau pelatih kami? Ah sudahlah. Dia sudah bisa keliling mencari klub sendiri. Â
Deal!
Kini tinggal bagaimana aku menyiasati para pemain petarung dan jujur itu agar kalah. Aku tentu tak bisa menyuruh mereka untuk ngalah. Aku juga tak enak meminta ke pelatih. Paling aku tinggal memakai orang luar. Sudah sip.
***
Beberapa menit setelah laga usai media membahas kekalahan kami secara besar-besaran. Berita online besar-besaran mengekspose kekalahan kami. Khususnya bagaimana bisa empat pemain kunci Star FC tiba-tiba sakit berapa jam sebelum laga leg kedua.
Kemenangan 3-0 di leg pertama pun buyar karena leg kedua kami kalah 0-5. Aku tentu jadi sasaran pencari berita. Ya simpel saja. Aku pasang muka garang.
Dua jam setelah pertandingan, aku adakan konferensi pers. "Kami minta panpel dan federasi mengusut ini. Bagaimana ceritanya pemain kunci kami bisa tiba-tiba sakit seperti orang keracunan. Apakah ini konspirasi?" Kataku.
Komentarku langsung dibalas manajer Torpedo FC. Kami sama-sama berkomentar garang. Tentu saja hanya main-main karena kamilah aktornya.
***
Aku lega, uang Rp 1 miliar plus Rp 150 juta sebagai runner up aku bagi ke semua unsur tim, sekaligus pembubaran tim secara sederhana. Sangat sederhana acaranya.
Di situ Pak Sani memintaku untuk kembali jadi manajer. Tapi aku tak mau terjebak dua kali pada lubang yang sama. Dimanfaatkan duit dan tenaga, lalu ditinggal sendirian.