"Lho, ada apa Man," kata bupati terkaget kaget.
"Kami butuh Rp 500 juta untuk gaji dan segala tetek bengek jelang final. Aku sudah tak sanggup lagi membiayai sendirian," kataku.
"Pengurus ke mana?" Kata bupati.
"Ah, mereka sampah. Hanya muncul di saat pembentukan tim dan konferensi pers. Setelahnya menghilang. Sampah. Jangankan uang, diajak ngobrol pun selalu cari alasan," kataku.
"Pak Sani, ketua umum?" tanya Bupati.
"Ah, dia selalu beromantisme soal masa lalunya sebagai pemain nasional yang hanya main sekali itu. Pelitnya minta ampun. Selalu bilang perjuangan, duit saja tak mau beri. Aku seperti dijebak. Aku bisa saja lari dari tanggung jawab. Tapi aku tidak tega dengan para pemain. Apalagi mereka kebanyakan dari keluarga pas-pasan," kataku panjang lebar tanpa jeda.
"Man, tapi kau tahu sendiri. Dana daerah tidak bisa untuk sepak bola profesional," kata Bupati.
"Ya, aku paham. Tapi bapak bisa menggerakkan orang berduit untuk membantu kami. Perusahaan di sini kan ada 20 an skala nasional. Tariklah mereka. Bapak kumpulkan dan minta bantuan," kataku.
"Ya ngga semudah itu Man. Aku tinggal 6 bulan lagi. Jabatan selesai. Tak bisa maju bupati lagi. Mereka para pengusaha itu sudah dipagari sama Santo. Santo kan mau nyalon. Calon kuat pula. Para pengusaha sudah cari ancang-ancang agar dekat dengan bupati selanjutnya. Pengusaha  paling cuma kamu, Niam, dan Karjo yang tak didatangi Santo kan. Santo tahu kalian tidak bisa dibeli," kata bupati.
Aku mulai kusut. Ah sial sekali. Aku tahu Santo pelitnya minta ampun. Dia memang pintar dan terkenal. Tapi pelitnya minta ampun.
***
Jika kami juara, akan dapat Rp 300 juta. Itu sangat tak mencukupi. Sekali lagi, aku sudah habis-habisan. Aku tak mau mengorbankan karyawanku dan anakku untuk Star FC.