Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Kala Blogger Ingin Deaktivasi Media Sosial

17 Mei 2019   03:00 Diperbarui: 18 Mei 2019   10:41 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. - Dokpri

Saya itu heran dengan orang-orang, atau teman-teman yang hampir selalu terdepan melihat instastory akun milik orang lain.

Kok ya sempat? Kok ya punya paketan? Kok ya gak ada kerjaan? Ini bulan puasa kok ya tetep aja? Pertanyaan itulah yang sering menggelayut di benak saya. Mengapa saya punya pertanyaan itu?

Jawabannya karena saya sebenarnya tak punya banyak waktu untuk menyelami jejaring sosial. Memang, saya juga kerap mengunggah instastory atau status di FB maupun Twitter. Tapi, selepas saya mengunggah apa yang saya rasakan, saya pikirkan, dan saya tahu tentang sekitar, dengan segera status-status itu saya tinggal.

Tak jarang, notifikasi dari teman yang menanggapi instastory saya bermunculan dan menunggu untuk dibalas. Saya memang tak niat atau memang saya cuma berkeinginan mengunggah status tanpa berharap mendapat tanggapan. Kalaupun saya menanggapi balik, maka saya hanya membalas dengan emoticon atau kata "wkwkwkw" sebagai tanda bahwa yang bersangkutan untuk tidak lagi membalas instastory atau status saya.

Terdengar jahat ya atau sombong tapi itulah kenyataanya yang terjadi. Lantas, mengapa saya masih juga mengunggah instastory atau status di FB?

Lah suka-suka saya dong. Eh, tidak seperti itu juga. Biasanya, apa yang saya unggah merupakan artikel yang sudah saya tulis di Kompasiana, blog pribadi, ataupun media daring lain tempat saya bergabung sebagai kontributor. 

Tentu, alasan agar trafik tulisan saya naik menjadi tujuan. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah balasan dari unggahan saya saat mereka menanggapi atau menanyakan isi artikel saya. Balasan itu muncul dengan segera dan terlihat mereka tidak membaca tulisan saya atau hanya membaca judul yang tampak di unggahan saya.

Terlebih, jika artikel yang saya unggah merupakan artikel politik seperti yang terjadi kemarin. Saat saya sedikit memberi apresiasi kepada salah satu partai politik baru. Dengan segera, rekan-rekan saya yang dikenal cukup beraliran "kanan" menyerang saya dengan stigma "komunis" dan beraliran "kiri". Lah, saya salah apa?

Kejadian seperti inilah yang membuat racun media sosial sering hinggap di otak. Perasaan tidak nyaman pun muncul. Padahal, saya hanya mengunggah tulisan blog lho. Tulisan saya pun selama ini bisa dikatakan menyajikan dua pandangan berbeda dari masalah yang ada. Rekan saya lain yang memang mengikuti tulisan saya juga mengapresiasi itu. Diantara kekurangan terhadap sesuatu, saya selalu mencoba untuk menuliskan kelebihannya ataupun sebaliknya.

Nah, apa yang saya harapkan inilah yang tidak terjadi di media sosial. Akhirnya, sempat terpikir dalam otak saya, sudah capek-capek nulis eh balasannya seperti itu. Maka, racun media sosial pun semakin mengakar di tubuh saya.

Untuk itulah, saya mulai membuat peraturan tegas dalam diri saya dalam bermedia sosial. Pertama, tentu tidak baper dengan apa yang saya dapatkan. Tidak baper ini mencakup saya tidak akan langsung mengambil hati dengan segala hal yang saya dapat. EGP jika bisa dimudahkan. Namun, kadangkala, sikap ini membuat saya dikenal cukup dingin di media sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun