Mohon tunggu...
Welly Eru
Welly Eru Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Nama Pena: Ikko Williams (Penulis novel Amin yang Sama dan Sujudku Karena Cinta)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tetapi

22 September 2018   18:23 Diperbarui: 2 Oktober 2018   12:00 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dari Pixabay.com

 

Cerita Roman Oleh Ikko Williams

"SAYANG, bukan rasa yang biasa setiap kali kupandangi lesung pipimu. Rona pipimu, rona yang selalu terbitkan letupan cinta, tetapi...."

   Sebetulnya pitutur lembut Anggoro tak patah seperti itu.

  "Tetapi waktu seakan membatasi penglihatanku untuk berlama-lama memandangi rona mu itu." Sekiranya begitulah yang Winarti ingat dari pitutur terakhir kekasihnya, namun ada persepsi lain yang selalu menguliti perasaannya.

  Pandangan Winarti menerawang, jauh diantara awan-awan jingga dalam ranumnya langit senja Sleker yang tampak masih lama untuk menuju gelap magrib. Yang Winarti ingat-ingat hanyalah Anggoro, senyuman yang menghilang dari sisinya sejak setahun silam. Kini mana tahu Winarti dimana lelaki itu, lelaki penyayang yang pernah menuang air cinta dalam cangkir-cangkir kosong di palung hatinya. Cangkir-cangkir yang kini meretak.

  "Tetapi mengapa kita terpisah sebegini lama dan tak pernah lagi bertemu?" Gumam Winarti lirih, tatapan matanya semakin melekat di awan-awan bertaburan gerombolan burung yang terbang menuju ke sarang.

  Beribu kali pitutur itu terbit dari gumaman Winarti, wanita muda bertubuh kurus yang sudah hampir setahun tak bisa terpisahkan dari kursi roda.

  "Jalan kemana lagi, Non?" Tanya mbok Sarmi, wanita tua yang selalu setia mendorong kursi roda yang Winarti duduki.

  Sleker masih sama, pikir Winarti, sejak sebulan yang lalu ia datang kesitu --hampir setiap bulan malah. Bahkan sejak tetakhir kalinya ia menatap punggung Anggoro  yang berlalu menjauhi keterpakuannya, menjauhi hidupnya yang ruwet saat itu. Semuanya masih sama, hamparan rerumputan kenangan, suara dedaunan kering yang disapu angin pun jadi kenangan bagi Winarti.

Tangan Winarti menunjuk.

Mbok Sarmi mendorong pelan kursi roda yang diduduki ndoronya itu, menuju berdirinya pohon pinus tua dan kuntet di tengah-tengah bukit.

Detik demi detik berlalu, fikiran Winarti dikerubungi kenangan masalalunya bersama sang lelaki penyayang. Air mata, senyuman,  gemetar rindu dan bibir mengelu. Semua mewarnai ingatan Winarti di tempat itu; perbukitan Sleker, Magelang. Hingga 15 menit menuntunnya mengingat semua kenangan.

Dan karena cinta, juga rindu yang mendalam, kini kesadarannya memudar.

Wajah mbok Sarmi berubah pucat. Dengan rona ketakutan dan kecemasan yang terlukis di wajahnya, perempuan tua bertapih jarit itu lari meninggalkan Winarti. Sekuat tenaga mbok Sarmi berlari menuruni perbukitan sleker, menuju sebuah mobil sedan hitam yang sejak tadi terparkir di ujung hamparan kebun lembayung.

  "Tuan. Tuan tolong Tuan...."

  "Ada apa Mbok?" Seorang pria di dalam mobil yang berkumis tebal dan wajah penuh dengan keacuhan menanyai mbok Sarmi.  Namun tatapan mata pria berdasi dan berjas hitam itu seakan tak mau lepas dari buku yang dibacanya.

  "Nona Winarti, Tuan. Badannya melemas, panas, ia menangis, dan tak mau bicara meski sepatah kata," Ucap mbok Sarmi gugup.

  "Wanita manja!" Gerutu sang pria di dalam mobil; dengan masih membaca buku. "Bawa kemari istri saya, Mbok. Atau biarkan saja ia mati terlebih dahulu."

  Jiwa Mbok Sarmi bagai disambar petir oleh ucapan tuannya.

  Winarti pingsan, namun ingatannya masih kuat dalam sisa kesadarannya, bahkan saat tubuhnya digotong beberapa orang menuju ke mobil. Ia ingat kenangan dari bungkus getuk dalam genggaman tangannya, kertas usang yang semenit lalu dipungutnya; terselip diantara rerumputan di bawah pohon pinus kuntet tadi.

  Ia dan Anggoro yang pernah memakan getuk di tempat itu. Sekardus kecil getuk yang ia makan bersama sang lelaki penyayang.

  Namun itu terjadi dalam senja yang sudah berlalu setahun lebih.

  "Apakah aku akan mati?" Berkecamuklah fikiran Winarti, ia rasa saat ini hidupnya tak penting lagi. Samar-samar dilihatnya sang suami yang masih menikmati buku bacaan. Suami yang menikahinya karena harta yang dimilikinya.

Foto Dari Pixabay.com
Foto Dari Pixabay.com
  Mata Winarti terasa berat.

  Saat mobil melaju pelan; dalam pelukan Mbok Sarmi, mata Winarti berusaha memandang pohon pinus kuntet di atas bukit. Ia rasa senja ini adalah senja terakhir untuknya melihat perbukitan sleker.

  Tetapi...

  Untuk kemudian Winarti tercengang, tubuhnya menggigil hebat, ia melihat siluet laki-laki  yang sangat tak asing baginya; berdiri terpaku di samping pohon pinus kuntet yang beberapa menit lalu ia singgahi.

  Ya, siluet Anggoro, bukan tidak.

  Mata Winarti basah, ia ingin berteriak memanggil lelaki yang selalu di hatinya itu, namun tak bisa.

  "Inikah sakaratul maut?" Pertanyaan itu menancap pada benaknya.

  Jika ada kesempatan dari Tuhan, Winarti ingin melompat dari mobil dan menemui lelaki penyayang itu.

Tetapi... 

Hidup di dunia ini penuh dengan tetapi dan tetapi.

  Kali ini Winarti benar-benar serasa mati.

  Melihat perempuan cantik mendekati siluet Anggoro dan langsung memeluk lelaki penyayang itu dengan mesranya.

Selesai..

Bandung, 21 September 2018

Ikko Williams bisa dihubungi di:

Twitter/Instagram/Wattpad: @ikkowilliams

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun