Ini adalah ratapan atas sirnanya teladan yang langka---seorang yang berani menjadikan kasih sebagai bahasa universal, melampaui batas dogma dan identitas.Â
Kisahnya bermula dari Buenos Aires, di mana seorang imam muda kerap menyelinap ke kawasan kumuh untuk membersihkan luka para pecandu narkoba. Semangat itu tak pernah padam bahkan saat ia menjadi uskup agung.Â
Pada 2013, sebagai Paus pertama dari Benua Amerika, ia memilih nama Fransiskus---merujuk pada Santo Fransiskus dari Assisi, sang pejuang kaum miskin.Â
Keputusannya mencuci kaki narapidana perempuan, termasuk muslimah, pada perayaan Kamis Putih 2016 bukanlah pertunjukan simbolis. Itu adalah manifestasi dari keyakinannya: "Siapa pun yang menderita---apapun agamanya---adalah darah daging kita."Â
Di Indonesia, warisan inklusivitasnya terasa dalam kunjungan bersejarah September 2024. Saat sebagian pihak sibuk mempersiapkan protokol keamanan ketat, ia justru meminta agar bisa bertemu penyandang disabilitas di kantor KWI.Â
Monsinyur Antonius Subianto Bunjamin masih teringat bagaimana Paus dengan sabar berfoto dan memberkati setiap orang yang meminta, meski tubuhnya kelelahan.Â
"Baginya, setiap manusia adalah umat," katanya.Â
Sikap ini mengingatkan kita pada pesannya dalam Fratelli Tutti (2020): "Kita adalah satu keluarga manusia. Bernapas dengan paru-paru yang sama."Â
Dalam era di mana agama kerap menjadi alat pemecah belah, Paus Fransiskus justru menjadikannya jembatan. Kunjungannya ke Masjid Al-Azhar Kairo (2017), pertemuan dengan Ayatollah Ali al-Sistani di Irak (2021), hingga dialog dengan Grand Imam Ahmed el-Tayeb melahirkan dokumen Persaudaraan Manusia (2019)---sebuah piagam perdamaian yang dianggap bersejarah.Â
Di Indonesia, pesannya saat berdiri di Masjid Istiqlal tetap menggema: "Perbedaan adalah kekayaan, bukan ancaman." Kata-kata ini menjadi penawar bagi negeri yang belakangan dihantui kasus intoleransi, seperti penolakan rumah ibadah atau ujaran kebencian di media sosial.Â
Tapi inklusivitasnya tak berhenti pada dialog antariman. Ketika Gereja Katolik masih berdebat tentang sikap terhadap komunitas LGBT, ia mengajak dunia untuk "menghargai martabat setiap orang tanpa menjustifikasi dosa".Â