Meski tak mengubah doktrin, pernyataannya---"Siapa saya untuk menghakimi?"---membuka ruang empati yang sebelumnya tertutup.Â
Di Brasil, ia mengunjungi favela; di Lampedusa, ia meratapi nasib pengungsi yang tenggelam; di Filipina, ia memeluk anak-anak jalanan.Â
Setiap langkahnya adalah kritik halus terhadap sistem ekonomi yang, dalam kata-katanya, "membunuh dengan membiarkan orang kelaparan".Â
Komitmen pada kemanusiaan ini tak terpisah dari kecintaannya pada alam. Ensiklik Laudato Si' (2015) bukan sekadar dokumen lingkungan---itu adalah seruan untuk "ekologi integral" yang menyatukan nasib manusia dan bumi.Â
Saat para pemimpin G20 sibuk berdebat tentang batasan emisi, Paus mengingatkan bahwa krisis iklim adalah cermin krisis moral: "Kita telah menjadikan bumi sebagai tempat sampah."Â
Di Indonesia, pesan ini relevan melihat deforestasi yang masih marak atau polusi plastik di laut. Seorang gembala BK (Bala Keselamatan), Dekrius, menulis bagaimana dokumen itu mengubah paradigma komunitasnya di Sigi: "Kami mulai menanam pohon sambil merenungkan bahwa merusak alam adalah dosa terhadap sesama."Â
Lantas, mengapa kepergiannya terasa seperti kehilangan besar? Mungkin karena di tengah gempuran politik identitas dan narasi eksklusivisme, Paus Fransiskus adalah suara yang konsisten menawarkan alternatif: bahwa kepemimpinan sejati terletak pada keberanian merendahkan diri.Â
Saat para politisi berlomba membangun citra melalui gemerlap media sosial, ia memilih mengunjungi penjara, panti jompo, dan kamp pengungsi.Â
Saat kekuasaan sering diukur dari jumlah pengawal, ia hanya tersenyum ketika ditanya mengapa memilih Innova biasa: "Yesus pun lahir di kandang yang tak berpenjaga."Â
Indonesia, dengan keragamannya, mungkin adalah cermin sempurna untuk melihat relevansi ajarannya. Di negeri di seorang ulama bisa bersalaman dengan pastor, di mana pesantren dan seminari saling mengunjungi, semangat inklusivitas Paus Fransiskus menemukan ruang bernyawa.Â
Tapi tantangannya nyata: survei Setara Institute (2023) mencatat peningkatan kasus intoleransi sebanyak 23% dibanding tahun sebelumnya. Di sinilah warisannya menjadi lentera---bagaimana merawat keberagaman bukan sekadar melalui peraturan, tetapi melalui pertemanan tulus seperti yang ia contohkan.Â