Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paus Fransiskus: Mengapa Dunia Merindukan Sosok Sepertinya?

22 April 2025   17:32 Diperbarui: 22 April 2025   17:32 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat Misa di Katedral Rio de Janeiro (2013), Paus Fransiskus menyampaikan homili (NBCnews.com)

Meski tak mengubah doktrin, pernyataannya---"Siapa saya untuk menghakimi?"---membuka ruang empati yang sebelumnya tertutup. 

Di Brasil, ia mengunjungi favela; di Lampedusa, ia meratapi nasib pengungsi yang tenggelam; di Filipina, ia memeluk anak-anak jalanan. 

Setiap langkahnya adalah kritik halus terhadap sistem ekonomi yang, dalam kata-katanya, "membunuh dengan membiarkan orang kelaparan". 

Komitmen pada kemanusiaan ini tak terpisah dari kecintaannya pada alam. Ensiklik Laudato Si' (2015) bukan sekadar dokumen lingkungan---itu adalah seruan untuk "ekologi integral" yang menyatukan nasib manusia dan bumi. 

Saat para pemimpin G20 sibuk berdebat tentang batasan emisi, Paus mengingatkan bahwa krisis iklim adalah cermin krisis moral: "Kita telah menjadikan bumi sebagai tempat sampah." 

Di Indonesia, pesan ini relevan melihat deforestasi yang masih marak atau polusi plastik di laut. Seorang gembala BK (Bala Keselamatan), Dekrius, menulis bagaimana dokumen itu mengubah paradigma komunitasnya di Sigi: "Kami mulai menanam pohon sambil merenungkan bahwa merusak alam adalah dosa terhadap sesama." 

Lantas, mengapa kepergiannya terasa seperti kehilangan besar? Mungkin karena di tengah gempuran politik identitas dan narasi eksklusivisme, Paus Fransiskus adalah suara yang konsisten menawarkan alternatif: bahwa kepemimpinan sejati terletak pada keberanian merendahkan diri. 

Saat para politisi berlomba membangun citra melalui gemerlap media sosial, ia memilih mengunjungi penjara, panti jompo, dan kamp pengungsi. 

Saat kekuasaan sering diukur dari jumlah pengawal, ia hanya tersenyum ketika ditanya mengapa memilih Innova biasa: "Yesus pun lahir di kandang yang tak berpenjaga." 

Indonesia, dengan keragamannya, mungkin adalah cermin sempurna untuk melihat relevansi ajarannya. Di negeri di seorang ulama bisa bersalaman dengan pastor, di mana pesantren dan seminari saling mengunjungi, semangat inklusivitas Paus Fransiskus menemukan ruang bernyawa. 

Tapi tantangannya nyata: survei Setara Institute (2023) mencatat peningkatan kasus intoleransi sebanyak 23% dibanding tahun sebelumnya. Di sinilah warisannya menjadi lentera---bagaimana merawat keberagaman bukan sekadar melalui peraturan, tetapi melalui pertemanan tulus seperti yang ia contohkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun