Dunia ini memang fana. Semua yang kita genggam pada akhirnya akan terlepas. Semua yang kita cintai, suatu hari akan pergi. Tidak ada yang abadi di bawah langit ini, dan inilah kenyataan yang sering kali sulit kita terima.Â
Kita hidup seakan-akan dunia ini akan selamanya ada untuk kita. Kita memandang gunung yang menjulang, langit yang terbentang luas, lautan yang tak bertepi, serta bangunan megah yang berdiri kokoh, lalu kita merasa aman.Â
Kita mengira tanah yang kita pijak adalah kepastian, waktu yang kita jalani adalah keabadian. Padahal, bila kita menunduk sejenak dan merenung lebih dalam, kita akan sadar: itu semua hanya ilusi.
Bukan hanya agama atau filsafat yang mengingatkan, tetapi sains pun dengan bahasa ilmiahnya meenjelaskan hal yang sama, bahwa dunia ini rapuh, sementara, dan pada akhirnya akan sirna. Fisika kuantum, misalnya, menemukan fakta yang mengejutkan tentang realitas yang kita kira kokoh.Â
Apa yang kita anggap padat ternyata hanyalah kumpulan ruang kosong. Atom, penyusun dasar tubuh kita dan segala benda di sekitar kita, 99% isinya hanyalah kekosongan. Jika inti atom diibaratkan sebesar bola tenis di tengah lapangan sepakbola, maka elektron yang mengelilinginya berada di sisi terjauh lapangan. Artinya, benda yang kita sebut keras, padat, dan nyata, sesungguhnya hanyalah ruang kosong yang dihuni partikel bergetar.
Kita merasakan meja keras bukan karena benar-benar solid, melainkan karena partikel di dalamnya bergerak begitu cepat sehingga menciptakan sensasi stabilitas. Dunia yang terasa nyata, padahal sejatinya rapuh. Lebih mengejutkan lagi, dalam dunia kuantum, partikel bisa menghilang dan muncul kembali.Â
Tidak ada kepastian mutlak tentang posisinya, bahkan waktunya. Energi bisa meluruh, partikel bisa hancur menjadi debu kuantum. Segala sesuatu yang terlihat besar dan kokoh, jika diteliti cukup dalam, ternyata hanyalah kumpulan ketidakpastian.
Sains, dengan caranya, sebenarnya sedang menyampaikan hal yang sama dengan yang sudah lama diingatkan agama: dunia ini memang fana. Semua yang kita lihat, sentuh, dan rasakan, bukanlah kepastian. Ia bisa hilang kapan saja. Lalu, jika semua ini fana, apa artinya bagi hidup kita?
Kefanaan dunia seharusnya mengajarkan kita untuk tidak berlebihan dalam menggenggamnya. Harta, jabatan, popularitas, semuanya bisa lenyap dalam sekejap. Betapa banyak orang yang kemarin dipuja, hari ini dilupakan. Betapa banyak rumah megah yang kini kosong ditinggal penghuninya. Betapa banyak nama besar yang akhirnya hanya tinggal catatan di buku sejarah.Â
Apa pun yang kita banggakan bisa runtuh, apa pun yang kita kumpulkan bisa hilang. Kesadaran ini seharusnya membuat kita lebih rendah hati, lebih ringan dalam melangkah, dan lebih tulus dalam menjalani hidup.