Telepon genggam Kardinal Ignatius Suharyo tak berhenti berdering. Sejak kabar wafatnya Paus Fransiskus menyebar, dering belasungkawa dari tokoh lintas agama, politisi, hingga masyarakat biasa memenuhi layarnya.
"Tidak hanya umat Katolik, seluruh bangsa ini merasakan kehilangan," ujarnya di pelataran Katedral Jakarta, suara lirih namun sarat makna.
Di sudut lain, Haedar Nashir, Ketua Muhammadiyah, mengenang pertemuannya dengan Paus di Vatikan: "Dia hidup dengan prinsip miserando atque eligendo---rendah hati dan terpilih."
Sementara itu, Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, masih membayangkan senyum tulus Paus saat berdialog di tempat ibadah itu tujuh bulan lalu.Â
"Persahabatannya dengan Indonesia meninggalkan jejak yang mengglobal," katanya.Â
Di tengah dunia yang semakin retak oleh polarisasi, kematian seorang pemimpin spiritual justru menyatukan duka. Bukan hanya karena jabatannya, melainkan karena cara ia menjalani hidup: merangkul yang tersisih, mendamaikan yang bertikai, dan menolak dikurung dalam menara gereja.Â
Sosok bernama asli Jorge Mario Bergoglio ini lebih memilih tinggal di Casa Santa Marta, hunian sederhana di Vatikan, ketimbang istana kepausan.Â
Mobil Innova Zenix putih non-antipeluru yang ia naiki selama kunjungan ke Indonesia pada 2024 menjadi simbol kesahajaannya---sebuah perlawanan halus terhadap kemegahan yang sering kali membius pemimpin dunia.Â
Dunia abad ke-21 mungkin tidak kekurangan tokoh berpengaruh, tetapi jarang yang seperti Paus Fransiskus: pribadi yang mampu membuat seorang ulama NU, pendeta Protestan, dan menteri agama bersepakat bahwa kemanusiaan adalah altar tertinggi.Â
Ketika Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) berjanji melanjutkan perjuangannya, atau Jacklevyn Manuputty dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menyebutnya "sahabat para migran", yang terlihat bukan sekadar duka atas kepergian seorang pemimpin agama.Â
Ini adalah ratapan atas sirnanya teladan yang langka---seorang yang berani menjadikan kasih sebagai bahasa universal, melampaui batas dogma dan identitas.Â
Kisahnya bermula dari Buenos Aires, di mana seorang imam muda kerap menyelinap ke kawasan kumuh untuk membersihkan luka para pecandu narkoba. Semangat itu tak pernah padam bahkan saat ia menjadi uskup agung.Â
Pada 2013, sebagai Paus pertama dari Benua Amerika, ia memilih nama Fransiskus---merujuk pada Santo Fransiskus dari Assisi, sang pejuang kaum miskin.Â
Keputusannya mencuci kaki narapidana perempuan, termasuk muslimah, pada perayaan Kamis Putih 2016 bukanlah pertunjukan simbolis. Itu adalah manifestasi dari keyakinannya: "Siapa pun yang menderita---apapun agamanya---adalah darah daging kita."Â
Di Indonesia, warisan inklusivitasnya terasa dalam kunjungan bersejarah September 2024. Saat sebagian pihak sibuk mempersiapkan protokol keamanan ketat, ia justru meminta agar bisa bertemu penyandang disabilitas di kantor KWI.Â
Monsinyur Antonius Subianto Bunjamin masih teringat bagaimana Paus dengan sabar berfoto dan memberkati setiap orang yang meminta, meski tubuhnya kelelahan.Â
"Baginya, setiap manusia adalah umat," katanya.Â
Sikap ini mengingatkan kita pada pesannya dalam Fratelli Tutti (2020): "Kita adalah satu keluarga manusia. Bernapas dengan paru-paru yang sama."Â
Dalam era di mana agama kerap menjadi alat pemecah belah, Paus Fransiskus justru menjadikannya jembatan. Kunjungannya ke Masjid Al-Azhar Kairo (2017), pertemuan dengan Ayatollah Ali al-Sistani di Irak (2021), hingga dialog dengan Grand Imam Ahmed el-Tayeb melahirkan dokumen Persaudaraan Manusia (2019)---sebuah piagam perdamaian yang dianggap bersejarah.Â
Di Indonesia, pesannya saat berdiri di Masjid Istiqlal tetap menggema: "Perbedaan adalah kekayaan, bukan ancaman." Kata-kata ini menjadi penawar bagi negeri yang belakangan dihantui kasus intoleransi, seperti penolakan rumah ibadah atau ujaran kebencian di media sosial.Â
Tapi inklusivitasnya tak berhenti pada dialog antariman. Ketika Gereja Katolik masih berdebat tentang sikap terhadap komunitas LGBT, ia mengajak dunia untuk "menghargai martabat setiap orang tanpa menjustifikasi dosa".Â
Meski tak mengubah doktrin, pernyataannya---"Siapa saya untuk menghakimi?"---membuka ruang empati yang sebelumnya tertutup.Â
Di Brasil, ia mengunjungi favela; di Lampedusa, ia meratapi nasib pengungsi yang tenggelam; di Filipina, ia memeluk anak-anak jalanan.Â
Setiap langkahnya adalah kritik halus terhadap sistem ekonomi yang, dalam kata-katanya, "membunuh dengan membiarkan orang kelaparan".Â
Komitmen pada kemanusiaan ini tak terpisah dari kecintaannya pada alam. Ensiklik Laudato Si' (2015) bukan sekadar dokumen lingkungan---itu adalah seruan untuk "ekologi integral" yang menyatukan nasib manusia dan bumi.Â
Saat para pemimpin G20 sibuk berdebat tentang batasan emisi, Paus mengingatkan bahwa krisis iklim adalah cermin krisis moral: "Kita telah menjadikan bumi sebagai tempat sampah."Â
Di Indonesia, pesan ini relevan melihat deforestasi yang masih marak atau polusi plastik di laut. Seorang gembala BK (Bala Keselamatan), Dekrius, menulis bagaimana dokumen itu mengubah paradigma komunitasnya di Sigi: "Kami mulai menanam pohon sambil merenungkan bahwa merusak alam adalah dosa terhadap sesama."Â
Lantas, mengapa kepergiannya terasa seperti kehilangan besar? Mungkin karena di tengah gempuran politik identitas dan narasi eksklusivisme, Paus Fransiskus adalah suara yang konsisten menawarkan alternatif: bahwa kepemimpinan sejati terletak pada keberanian merendahkan diri.Â
Saat para politisi berlomba membangun citra melalui gemerlap media sosial, ia memilih mengunjungi penjara, panti jompo, dan kamp pengungsi.Â
Saat kekuasaan sering diukur dari jumlah pengawal, ia hanya tersenyum ketika ditanya mengapa memilih Innova biasa: "Yesus pun lahir di kandang yang tak berpenjaga."Â
Indonesia, dengan keragamannya, mungkin adalah cermin sempurna untuk melihat relevansi ajarannya. Di negeri di seorang ulama bisa bersalaman dengan pastor, di mana pesantren dan seminari saling mengunjungi, semangat inklusivitas Paus Fransiskus menemukan ruang bernyawa.Â
Tapi tantangannya nyata: survei Setara Institute (2023) mencatat peningkatan kasus intoleransi sebanyak 23% dibanding tahun sebelumnya. Di sinilah warisannya menjadi lentera---bagaimana merawat keberagaman bukan sekadar melalui peraturan, tetapi melalui pertemanan tulus seperti yang ia contohkan.Â
Seperti kata Anwar Abbas dari MUI, Paus adalah "tokoh yang cinta damai tanpa lelah menjembatani perbedaan". Tapi warisannya bukan untuk diratapi, melainkan untuk diteruskan.Â
Seorang pemuda di Kupang, Stefanus Bili, bercerita bagaimana pidato Paus tentang pengungsi Rohingya menginspirasinya mendirikan komunitas literasi bagi anak-anak korban konflik.Â
"Dia mengajarkan bahwa membantu sesama tak perlu menunggu jadi orang penting," ujarnya.Â
Di akhir hayatnya, Paus Fransiskus pernah berujar: "Cintailah dunia ini dengan segala ketidaksempurnaannya." Kalimat itu mungkin adalah intisari dari semua yang ia perjuangkan: bahwa inklusivitas bukanlah politik pencitraan, melainkan keberanian untuk mengakui bahwa kita semua---kaya atau miskin, beriman atau skeptis---adalah peziarah yang sama-sama rentan.Â
Di tengah gemuruh dunia yang semakin individualistik, sosok seperti dialah yang kita rindukan: seorang gembala yang tak hanya berbicara tentang kasih, tetapi hidup di dalamnya.Â
Kini, ketika ribuan lilin berkedip di luar Katedral Jakarta, atau ketika umat di Vatikan berdoa dalam diam, pertanyaan reflektifnya menggelayut: "Apa yang akan kita lakukan untuk melanjutkan obor yang telah ia nyalakan?"
Jawabannya mungkin dimulai dari hal sederhana: menyapa tetangga yang berbeda keyakinan, mendengarkan cerita pengemudi ojek online, atau sekadar menahan diri untuk tidak membagikan ujaran kebencian di grup WhatsApp.Â
Sebab, seperti kata Paus dalam salah satu homilinya, "Perdamaian tidak dibuat di ruang rapat, tetapi di jalan-jalan kecil tempat manusia saling menyapa."Â
Dunia mungkin telah kehilangan seorang Fransiskus, tetapi semangatnya bisa hidup dalam setiap pilihan kita hari ini: untuk merangkul, bukan menyingkirkan; mendengar, bukan menghakimi.Â
Bukankah itu cara terbaik mengenangnya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI