Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lebaran: Transformasi Hati, Tubuh dan Kehidupan

30 Maret 2025   18:38 Diperbarui: 31 Maret 2025   07:01 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sungkeman Lebaran. (Antara Foto/raisan al farisi)

"Lebaran: Lebar, Lebur, Luber, dan Labur" 

Lebaran bukan sekadar perayaan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Ia adalah mozaik filosofi hidup yang terangkum dalam empat kata: lebar, lebur, luber, dan labur.

Tradisi turun-temurun yang mengiringinya bukanlah ritual kosong, melainkan cerminan dari nilai-nilai luhur yang membentuk identitas kolektif. Pagi hari usai salat Idulfitri, keluarga berkumpul dalam keheningan yang sarat makna.

Anak-anak bersimpuh di hadapan orang tua, istri menunduk hormat kepada suami, dan setiap anggota saling mengulurkan tangan memohon maaf.

Gerak tubuh ini bukan sekadar formalitas, melainkan bahasa universal yang mengajarkan kerendahan hati. Sungkem, sebagai simbol penghormatan, menjadi pintu pembuka bagi hati yang lebar. 

Rangkaian silaturahmi pun berlanjut. Keluarga yunior mendatangi rumah senior, lalu bersama-sama bergerak menuju keluarga yang lebih tua, hingga berkumpul di kediaman tetua tertinggi.

Dalam lingkaran ini, semua duduk sejajar, tanpa sekat usia atau status. Tradisi ini bukan sekadar kunjungan, melainkan proses regenerasi nilai. Setiap langkah menapaki rumah sanak saudara adalah pengingat bahwa manusia tak hidup dalam kesendirian.

Di sini, lebaran menjadi ruang di mana ikatan darah dan sejarah menyatu, diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita, tawa, dan hidangan khas seperti ketupat dan opor ayam yang telah menjadi saksi bisu perjalanan waktu. 

Makna lebar dalam Lebaran mengajak manusia melampaui batas sudut pandangnya. Ia adalah undangan untuk melihat dunia dengan kaca mata ketuhanan.

Saat seseorang memahami bahwa "la ilaha illallah" berarti tiada yang hakiki kecuali Allah, ia tak lagi terjebak dalam klaim kebenaran sempit.

Misalnya, ketika tetangga berbeda keyakinan tak mengucapkan selamat, bukan serta-merta kita menghakiminya. Mungkin ia sedang berduka, atau belum memahami tradisi. Di sini, lebar menjadi antidot bagi prasangka.

Seperti kisah Pak Ahmad yang tetap mengantarkan rendang ke keluarga non-Muslim di sebelah rumah, karena baginya, berbagi kebahagiaan tak mengenal batas agama. 

Lebur adalah tahap berikutnya: meleburkan kebencian menjadi kasih. Pada momen ini, dendam tak lagi mendapat panggung.

Seorang anak yang bertahun-tahun tak berbicara dengan orang tua karena konflik memilih membuka pintu maaf.

Di desa-desa, masyarakat dari beragam suku berkumpul di balai bersama, saling menyuapi ketupat sebagai simbol persaudaraan.

Bahkan di kota metropolitan, karyawan yang selama setahun bersaing sengit di kantor duduk bersama, menertawakan kesalahpahaman masa lalu.

Proses peleburan ini bukan menghapus jejak luka, melainkan mengubahnya menjadi pupuk bagi pertumbuhan hubungan yang lebih sehat. 

Ketika hati telah lebar dan kebencian telah lebur, berkah pun luber melimpah. Konsep ini terwujud dalam tradisi bagi-bagi hagala (angpau)  kepada anak yatim, atau pengusaha yang menyisihkan sebagian rezeki untuk membiayai pendidikan tetangganya.

Di pelosok Nusantara, luberan berkah juga terlihat dari gotong royong membersihkan makam leluhur, di mana semua warga---kaya-miskin, tua-muda---bekerja bahu-membahu.

Seperti telaga yang meluap, kebaikan yang tulus akan mengairi setiap sudut kehidupan. Seorang nenek di Jawa Tengah bercerita: "Dulu kami hanya makan lontong sayur sederhana, tapi karena semua warga menyumbang beras, meja kami penuh hidangan." 

Puncaknya adalah labur: transformasi menjadi manusia baru. Ramadan melatih disiplin, puasa mengasah empati, dan Lebaran menjadi titik tolak untuk mempertahankannya.

Bukan sekadar "kesehatan baru" dengan pola makan terjaga, tetapi juga kebiasaan berpikir yang lebih reflektif.

Seperti Bu Ninik yang kini rutin mengaji usai salat Subuh, atau pemuda bernama Rayyan yang memilih mengurangi rokok dan menyisihkan uangnya untuk kursus keterampilan. Labur adalah janji pada diri: bahwa kemenangan spiritual tak berakhir di hari raya. 

Filosofi ini terangkum dalam siklus abadi: lebar membuka pikiran, lebur menyucikan hati, luber membagikan kebaikan, dan labur mengukir identitas baru.

Lebaran, dalam esensinya, adalah sekolah kehidupan. Di sini, manusia diajari bahwa memaafkan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk melangkah lebih jauh.

Bahwa sungkem bukanlah tindakan feodal, melainkan seni merendahkan ego. Bahwa ketupat yang dibungkus janur adalah metafora: manusia harus tetap kokoh meski dibalut kerendahan hati. 

Di tengah gempuran modernitas yang individualistik, tradisi Lebaran tetap bertahan karena ia bukan sekadar warisan, melainkan kebutuhan jiwa. Ia mengingatkan bahwa kemanusiaan tak boleh tergerus zaman.

Ketika dunia sibuk membangun tembok perbedaan, Lebaran datang dengan jembatan maaf. Di saat masyarakat terfragmentasi oleh politik identitas, ia menyodorkan telur merah yang dibagi rata ke setiap anak.

Inilah keajaiban Lebaran: ia mampu mengubah konsep filosofis menjadi aksi nyata, merajut kembali yang retak, dan menyalakan lilin harapan di tengah gelap. 

Maka, jika ada yang bertanya mengapa kita merindukan Lebaran, jawabannya sederhana: karena di sanalah kita belajar menjadi manusia---dengan segala ketidaksempurnaannya---yang terus berproses.

Dari lebar ke lebur, luber, lalu labur: sebuah tarian abadi antara kesadaran diri dan kerinduan akan Sang Maha Luas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun