Yang Tersayang, Ramadan yang Senantiasa Dinanti,Â
Sebelum tinta ini menggoreskan kerinduan, izinkan aku menitipkan rindu di celah-celah waktu yang merangkak pelan.
Kau tahu, sejak kepergianmu tahun lalu, hari-hariku bagai puisi yang kehilangan rima. Aku menatap langit, merangkai doa dalam hitungan munajat, menanti detik di mana kita akan bersua kembali---di bulan yang diselimuti berkah, saat langit dan bumi bersimpuh dalam gemuruh tasbih.Â
Ramadan, kau bukan sekadar tamu musiman. Kau adalah guru yang mengajari makna "kosong" yang sesungguhnya: bahwa lapar bukan sekadar perut yang mengkerut, melainkan jiwa yang merapal syukur.
Dahaga bukan hanya tenggorokan yang mengering, tapi hati yang merindukan keteduhan ampunan-Nya.
Tahun lalu, kau membimbingku meresapi gemericik air wudu di penghujung malam, melantunkan ayat-ayat suci yang membalut luka, dan mengeja makna kebahagiaan dalam sepiring takjil yang kubicarakan pada anak yatim.Â
Namun, maafkan aku. Masih ada iktikaf yang terlewat, sedekah yang tertunda dalam catatan niat, dan tilawah yang terpotong oleh kesibukan semu. Masih ada angkuh yang belum sepenuhnya kupendam di pelataran mihrab. Tapi dengarlah janji ini, Ramadan tahun depan:Â
Akan kujemputmu dengan hati yang lebih lapang.Â
Kubangun fajar dengan sujud yang lebih tulus,Â
kuhiasi siang dengan zikir yang merambat ke langit,Â