Bukan sekadar "kesehatan baru" dengan pola makan terjaga, tetapi juga kebiasaan berpikir yang lebih reflektif.
Seperti Bu Ninik yang kini rutin mengaji usai salat Subuh, atau pemuda bernama Rayyan yang memilih mengurangi rokok dan menyisihkan uangnya untuk kursus keterampilan. Labur adalah janji pada diri: bahwa kemenangan spiritual tak berakhir di hari raya.Â
Filosofi ini terangkum dalam siklus abadi: lebar membuka pikiran, lebur menyucikan hati, luber membagikan kebaikan, dan labur mengukir identitas baru.
Lebaran, dalam esensinya, adalah sekolah kehidupan. Di sini, manusia diajari bahwa memaafkan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk melangkah lebih jauh.
Bahwa sungkem bukanlah tindakan feodal, melainkan seni merendahkan ego. Bahwa ketupat yang dibungkus janur adalah metafora: manusia harus tetap kokoh meski dibalut kerendahan hati.Â
Di tengah gempuran modernitas yang individualistik, tradisi Lebaran tetap bertahan karena ia bukan sekadar warisan, melainkan kebutuhan jiwa. Ia mengingatkan bahwa kemanusiaan tak boleh tergerus zaman.
Ketika dunia sibuk membangun tembok perbedaan, Lebaran datang dengan jembatan maaf. Di saat masyarakat terfragmentasi oleh politik identitas, ia menyodorkan telur merah yang dibagi rata ke setiap anak.
Inilah keajaiban Lebaran: ia mampu mengubah konsep filosofis menjadi aksi nyata, merajut kembali yang retak, dan menyalakan lilin harapan di tengah gelap.Â
Maka, jika ada yang bertanya mengapa kita merindukan Lebaran, jawabannya sederhana: karena di sanalah kita belajar menjadi manusia---dengan segala ketidaksempurnaannya---yang terus berproses.
Dari lebar ke lebur, luber, lalu labur: sebuah tarian abadi antara kesadaran diri dan kerinduan akan Sang Maha Luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI