Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mudik adalah Belajar Cara "Pulang"

27 Maret 2025   15:57 Diperbarui: 27 Maret 2025   16:10 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka merantau ke kota untuk kerja, tapi hatinya tetap tersimpan di gubuk lamanya, di antara pohon mangga yang dulu sering dipanjat, atau kolam ikan tempat mereka dulu mencuri gurame tetangga. 

Budayawan Umar Khayam pernah bilang, tradisi mudik sudah ada sejak zaman Majapahit. Dulu, mudik adalah bentuk napak tilas spiritual: membersihkan makam leluhur, berkomunikasi dengan arwah, atau sekadar memastikan bahwa pohon jambu di belakang rumah masih berbuah manis.

Islam datang, lalu tradisi ini di remix dengan nilai baru: silaturahmi, saling memaafkan, dan---yang paling penting---unjuk gigi bahwa "Aku di kota tidak melarat, Bu! Lihat, aku bisa beli kulkas dua pintu!" 

Tapi di balik riuhnya mudik, ada pesan filosofis yang sering terlewat: mudik mengajarkan kita untuk tahu jalan kembali.

Bukan sekadar kembali ke koordinat GPS kampung halaman, tapi juga kembali ke jati diri. Seperti kata orang Sufi, hidup ini cuma persinggahan.

Kita ini cuma tamu di dunia, dan suatu hari harus check-out tanpa bisa delay atau naik ojek online. Persis seperti pengamen kereta api yang tiba-tiba menghilang saat lampu dimatikan. 

Di sinilah lucunya: kita begitu piawai merencanakan mudik fisik. Kita hitung jarak, siapkan logistik, bahkan latihan menahan pipis 8 jam.

Tapi untuk mudik terakhir---yang hanya sekali jalan---kadang kita lupa menyiapkan "tiket". Padahal, agama sudah mengingatkan: bekal terbaik bukanlah koper berisi baju baru atau 10 dus martabak, melainkan amal yang nanti akan jadi travel guide di perjalanan panjang nan mistis itu. 

Masyarakat Jawa dan Sunda punya kearifan lokal yang nyindir halus. "Ulah poho ka lemah cai" (Jangan lupa tanah air), atau "eling-eling mangka ling" (ingat-ingatlah asalmu).

Ini seperti pengingat di tengah gaya hidup metropolitan yang kadang bikin kita lupa diri. Bayangkan jika para komuter di Jakarta tiba-tiba berzikir, "Eh, aku ini cuma wayang, Tuhan yang dalangnya. Jangan sok jagoan di macetan!" Mungkin jalanan akan lebih adem. 

Tapi manusia memang makhluk paradoks. Kita paham bahwa dunia ini sementara, tapi tetap saja berebut kursi di kereta, saling serobot di tol, atau marah-marah saat harga tiket naik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun