Saat plastik terbuang ke lingkungan atau tempat pembuangan akhir (TPA), ia tidak terurai sempurna. Plastik yang tertimbun di TPA mengalami degradasi secara anaerobik (tanpa oksigen), menghasilkan gas metana (CH)---gas rumah kaca 28 kali lebih berbahaya daripada CO dalam memerangkap panas.Â
Selain itu, pembakaran sampah plastik (masih marak di Indonesia) melepaskan dioksin dan CO, memperburuk polusi udara dan pemanasan global.
Mikroplastik (plastik berukuran <5 mm) yang mencemari laut mengganggu ekosistem seperti terumbu karang, hutan bakau, dan fitoplankton---organisme laut yang berperan sebagai carbon sink (penyerap karbon alami).Â
Jika ekosistem ini rusak, kemampuan Bumi menyerap CO dari atmosfer akan menurun, sehingga konsentrasi GRK meningkat.
Mengapa zero-plastik penting? Setiap tahun, arus mudik menyumbang peningkatan sampah hingga 20-30% di lokasi-lokasi transit. Satu botol plastik yang tercecer di rest area mungkin tampak sepele, tetapi bayangkan jika 20 juta pemudik melakukan hal serupa.
Di sinilah kesadaran kolektif diperlukan. Bukan dengan menggugurkan tradisi, melainkan merombak caranya. Mulailah dengan membawa alat makan dan minum sendiri.
Sebuah konsep sederhana yang diusung gerakan Consume Less Living: tas belanja guna ulang, kotak makan tahan lama, dan sedotan bambu bisa menjadi teman setia selama perjalanan.
Saat berhenti di warung lokal, pilih nasi bungkus yang dibungkus daun pisang alih-alih sterofoam, atau lebih baik lagi, nikmati hidangan langsung di tempat dengan piring yang disediakan.Â
Bekal dari rumah juga menjadi kunci. Ibu-ibu di Jawa Tengah sudah lama paham filosofi ini: membawa besek berisi ketupat, opor, dan sambal goreng hati.
Tradisi ini tak hanya menghemat pengeluaran, tetapi juga mengurangi sampah kemasan. Bayangkan jika setiap keluarga menyiapkan bekal dalam wadah reusable, maka rest area tak lagi menjadi "ladang" sampah plastik.