Mohon tunggu...
Ikhsan Lukmana
Ikhsan Lukmana Mohon Tunggu... Guru - Guru

http://ikhsanlukmana.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kondangan dan Dilema yang Menyertainya

13 September 2017   19:37 Diperbarui: 14 September 2017   15:31 9114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://fikarnisfamily.blogspot.co.id

ADA kelakar yang pernah saya dengar "di Indonesia itu bukan hanya ada musim hujan sama musim kemarau, tapi juga ada musim duren, musim rambutan, musim mangga, sama musim kondangan...."

Kondangan adalah istilah yang merujuk pada berkunjungnya saudara, tetangga, teman, sahabat, kenalan, kolega, handai taulan kepada satu keluarga yang sedang punya hajat mengadakan pesta pernikahan atau sunatan.

Di daerah saya, orang-orang yang kondangan sebagian besar tidak mendapat surat undangan dari yang punya hajat. Surat undangan biasanya hanya dikirimkan untuk yang berada jauh dari kampungnya. Maksudnya, kalau misalnya di kampung ada yang sedang menggelar hajatan, maka secara otomatis sebagian besar warga datang menyambangi.

Bulan Rajab, Bulan Syawal, sebelum dan setelah Idul Adha, biasanya menjadi saat-saat 'favorit' untuk menggelar hajatan. Di luar itu tetap ada. Dan kondangan merupakan implikasi dari hajatan. Dua hal tersebut mutlak tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Hajatan merupakan momen yang menggembirakan bagi keluarga yang menggelar dan sanak familinya. Khususnya yang memiliki anak perempuan, dan umumnya hajatan digelar di rumah keluarga dari pihak mempelai perempuan.

Di sinilah sanak famili berkumpul untuk ikut rewang mengurus berbagai keperluan hajatan, mulai mempersiapkan jamuan sampai melayani para tamu yang hadir, dan sebagainya. Suasana dapur saat pergelaran hajatan penuh kehangatan baik dari pawon (baca: tungku) dan kehangatan percakapan dan canda tawa di tengah kesibukan dapur. Tak perlu pikirkan katering.


Untuk kawan dan kerabat yang lama tak jumpa, kondangan merupakan saat yang paling tepat untuk berkumpul. Kondangan menjadi reuni yang paling efektif. Sanak famili yang jauh barang tentu akan menyempatkan waktunya untuk kondangan.

Selain sanak famili dan sahabat, tamu lain yang hadir juga punya beberapa alasan datang untuk kondangan. Ada yang karena dulunya dia menggelar hajatan dan merasa harus 'membalas' kebaikan orang yang pernah datang ke pergelaran hajatannya, ada yang karena tidak ingin dianggap masyarakat sebagai orang yang tidak ingin bersosial, bahkan ada yang tidak ingin prekiwuh ketika bertemu dengan keluarga yang telah menggelar hajatan, dan berbagai alasan-alasan lain.

Namun yang perlu kita ketahui yaitu inti dari kondangan adalah nyumbang. Bisa dalam bentuk kado dan dalam bentuk 'amplop'. Dan nyumbang dalam masyarakat secara peraturan tidak tertulis adalah hal yang wajib.

Walaupun yang menggelar hajatan hanya memohon do'a restu bagi mempelai, dan tidak meminta para tamu untuk nyumbang, tapi secara otomatis para tamu melakukannya. Yang kadang jadi pertanyaan saya adalah siapa yang pertama kali mengajarkan kalau kondangan harus nyumbang? Ya, bagaimanapun jawabannya, menurut saya hajatan adalah momen berbagi kebahagiaan yang paling tepat. Berbagi kebahagiaan dalam bentuk yang sederhana yaitu berbagi makanan. Hehe.

Nyumbang bagi sebagaian besar orang bukan menjadi masalah. Kalau ngado(baca: memberi kado) mungkin cukup diisi dengan gelas, piring, bed cover, dan barang-barang siap pakai lain. 

Bagi yang mau ngamplop uang, yang umumnya diisikan ke dalamnya biasanya Rp 20.000,- atau lebih (update per Agustus 2017). Untuk satu kali nyumbang, agaknya nominal sekian mungkin masih terjangkau oleh kantong masyarakat. Namun, jika kondangan hanya satu dua kali saja, tentunya tidak. Nominal yang tadi untuk kondangan ke orang yang tidak memiliki kedekatan. Tapi untuk nyumbang kepada saudara, nominal tersebut katanya ora memper (baca: tidak patut), dan tentu nominalnya harus ditambahi.

Biasanya yang pergi kondangan dalam satu KK (Kepala Keluarga) tidak hanya satu orang tapi bisa lebih. Apalagi kalau yang menggelar hajatan masih berada dalam satu kampung. Bisa ayah, ibu, anak, kakek, nenek, kondanngan semua. Bayangkan, berapa duit yang diperuntukkan untuk nyumbang.

Ibu-ibu adalah golongan masyarakat yang paling sering kondangan. Kalau sedang 'musim' ibu-ibu ini bisa sampai kurang lebih 10 kali kondangan dalam satu bulan. Itu baru kondangan, belum lagi untuk pirukunan (baca: bersosial) lainnya yang tentunya juga memerlukan nyumbang.

Memang sebagai orang Jawa, untuk perkara bersosial sudah tidak perlu ditanya. Begitu pula dalam urusan kondangan ini. Sudah menjadi semacam tanggung jawab yang harus ditunaikan dan nampak tidak bisa ditawar. Biasanya kalau sudah menyangkut urusan sosial, bisa mengorbankan kepentingan pribadinya dan selalu ingin agar dirinya bisa memberikan yang sebaik-baiknya kepada orang lain.

Tak terkecuali kondangan, kadang bagi mereka-mereka yang tengah mengalami bokektentu akan menjadi persoalan yang cukup 'menatang' untuk diselesaikan. Ketika mendengar kabar bahwa pak A akan menggelar hajatan, pak B akan menikahkan putrinya seminggu kemudian, pak C tetangga sebelah anak laki-lakinya menikah dengan gadis dari luar kota. 

Dalam keadaan seperti itu tentulah seakan adrenalin terpacu sekencang-kencangnya. Dapat kita perkirakan apa solusi yang mungkin ada di pikiran seseorang jika sedang berada dalam situasi semacam itu. Pastinya butuh persediaan dana yang tidak sedikit. Bahkan tidak jarang pula meminjam uang kepada teman.

Bersilaturahmi adalah hal baik yang dianjurkan dalam agama, kondangan juga salah satu bentuk silaturahmi. Dan ini perlu dipelihara. Nyumbangatau memberi hadiah dalam pun sama berfaedahnya. Pemberian hadiah ini tentunya akan mengeratkan ikatan emosional baik pemberi maupun penerimanya.

Baik dalam bentuk apapun sebenarnya hadiah ini memiliki peranan dalam hal hubungan manusia sebagai makhluk sosial. Dengan catatan kedua belah pihak harus ikhlas lahir batin dalam memberi ataupun menerima.

Dalam kaitannya dengan kondangan, sebenarnya masyarakat masih terikat dengan peraturan tidak tertulis yang terlalu kaku. Menurut saya, sudah saatnya masyakat itu bebas dari hal tersebut. Sekali lagi menurut saya. Bagi yang akan ber-kondangan mungkin bisa memilih mau nyumbang atau tidak. Mau nyumbang berapapun banyaknya silakan.

Kalau yang tidak hendak nyumbang juga silakan datang ke hajatan. Saya rasa dengan seperti itu tamu-tamu yang datang ke hajatan pun akan mendo'akan dengan tulus ikhlas dan tidak terbebani apabila ada kondangan lagi di tempat lain. Juga kalau uang untuk nyumbang masih hutang, tidak perlu terpikirkan bagaimana melunasinya.

Note: ini tulisan pertama saya di kompasiana, mohon kritik dan saran agar saya bisa menjadi perbaikan untuk tulisan saya berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun