Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Penghujung Senja (35)

31 Oktober 2017   15:25 Diperbarui: 28 November 2023   18:31 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : pinterest

Kantin Mas Nano lumayan ramai, ada beberapa wajah yang Rein kenal. Mas Nano tengah sibuk melayani para pelanggannya. Apron hitamnya menyamarkan noda-noda masakan yang tertempel di sana.  

Entah mengapa Rein sangat menyukai penampilan Mas Nano dengan apron dan baju chefnya, ia terlihat sangat profesional.  

Desas desusnya, Mas Nano adalah mantan koki di salah satu hotel di ibukota, tapi karena ia selalu merindukan tanah kelahirannya, maka ia pun pulang kampung dan mendirikan kantin sederhana untuk anak-anak kos.  

Dengan harga yang tidak terlalu mahal dan aneka makanan yang diolah sedemikian menarik dan lezat, kantin bercat hijau ini tidak pernah sepi dari pelanggan. Keistimewaan lain dari Mas Nano adalah keramahannya dan hafal nama semua pelanggannya.

"Eh Rein, kamu kenal cewek yang barusan lewat?"  Indra menendang kaki Rein sedangkan tangannya sibuk menunjuk seseorang yang baru saja keluar dari pintu kantin. Rein terperanjat, tatapannya beralih ke arah wajah yang penuh harap di hadapannya.

"Mekha? Ya kenal lah."  Rein menghirup teh hangatnya dengan pelan.

"Lucu ya."

"Naksir?"

"Salamin ya." Indra menaik naikan-alis nya.

"Ye telat, kenapa gak dari tadi."

"Kan aku memang selalu telat."

"Hidih, lantas kamu mau nyuap aku pakai apa?"

"Belum apa-apa, minta suap aja. Nih yang kayak gini nih yang harus diberantas, pelaku kriminil tingkat gurem."

"Becanda kali, iya nanti aku bilangin deh,  coklat satu es krim dua yak?"

"Iya, kalau kamu berhasil. Tenang aja, kamu berurusan dengan orang yang tepat." Indra tersenyum lebar.

"Asik." Rein bertepuk tangan pelan.

"Hei Ndra." Seseorang memegang bahu Indra, Rein sontak melihat ke arah orang yang berdiri di belakang kursi Indra itu.

"Eh,  kak mau makan nih?"  Indra bertanya cepat.

"Iya, belum pada pulang?" Nara tersenyum ke arah Rein.

"Belum," Indra menggeleng.

Rein menatap Nara lalu menganggukan kepalanya.

"Gabung di sini, kak," Indra menarik kursi di sebelahnya.

"Sok aja, aku ada temen di sana, yuk." Nara berlalu, mata Rein mengikuti kemana Nara pergi.  Seorang gadis berwajah melankolis melambai padanya dan Nara pun duduk di hadapan gadis itu.

"Nih, aku beliin TTS kesukaan kamu." Tiba-tiba Jimmy yang tadi berpamitan sebentar karena hendak menelpon meletakkan buku TTS bergambar artis Ita Purnamasari di hadapan Rein.

"Wah asik nih, makasih Jim,"  Rein berkata semingrah.

"Iya, puas-puasin deh ngisinya."

"Iseng banget beli kayak gituan." Indra terheran-heran.

"Biar dia anteng." Jimmy cengengesan.

Rein pun dengan sigap mengeluarkan senjatanya berupa pulpen Pilot warna hijau yang di badannya telah tertempel namanya dari secarik kertas yang di isolasi.

"Buset tu pulpen punya nama." Indra terkagum-kagum.

"Biasa aja kali gak usah sambil ngeces gitu." Jimmy menghirup kopi milik Indra bergaya ala bapak-bapak yang tengah nongkrong di warung kopi sambil bermain catur.

"Pulpen kayak gini lagi musim di kelas, kalau gak dinamain suka ketuker." Rein mengacungkan pulpennya.

"Ya gak apa-apa kali ketuker, kan sama aja." Indra mencibir.

"Gak bisa gitu dong Ndra, pulpen ini nyawaku, gak bakalan ada yang nyamain keorisinilannya."

"Halah, susah ngomong sama tukang corat-coret kamar mandi.""Hidih." Rein sewot namun matanya tak lepas dari lembaran kertas di hadapannya.

"Buset udah penuh aja tuh TTS satu lembar." Indra menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Siapa dulu dong, master of teka teki silang." Jed duduk di samping Rein, wangi sabun mandi yang masih menempel di tubuhnya berlomba dengan aroma Benetton Sport yang membuat konsentrasi Rein buyar seketika.

"Mandi cowboy ya, cepet banget."  Jimmy menyeringai.

"Iya dong, kan kalian udah pada nungguin." Jed mengibaskan rambut gondrongnya, percikan air sedikit mengenai wajah Rein.

"Hidih, hujan lokal." Rein mendorong bahu Jed agar menjauh dari dirinya.

"Eh, hehe sorry kirain gak ada orang," canda Jed, Rein merengut.

"Ini pertanyaan legenda nih, ibukota Peru." Jed menunjuk pertanyaan di kolom baris 3 mendatar.

"Lima." Rein menuliskan huruf demi huruf kapitalnya di kotak yang tersedia.

"Lima mah ini." Indra melambaikan tangan kanannya kepada Rein lalu mengajak gadis itu ber-high five.

"5 mendatar, waduk." Rein melanjutkan membaca pertanyaan dalam buku TTS-nya.

"Waduh ada pertanyaan bahasa Sunda juga?" Indra mengerutkan keningnya tanda ia tengah serius.

"Mana?" Rein menelusuri pertanyaan di lembar TTS-nya.

"Itu barusan, waduk pasti jawabannya bohong." Indra menyeringai.

Rein dan Jed bertatapan lalu pecahlah tawa mereka.

"Waduk ini mah maksudnya dam atau bendungan.  Anak sipil gak tahu yang namanya waduk." Rein sewot.

"Oh kirain bahasa Sunda."  Indra tertawa malu.

"Berarti ini dam ya." Rein meminta persetujuan Jed.

"Hmm, sebenernya sih waduk dengan dam itu beda. Dam itu kan nama lainnya bendungan yaitu konstruksi bangunan pembendung air." Jed menggaruk kepalanya.

"Iya, kalau waduk itu tempat penampungan airnya. Waduk itu bagian dari bendungan." Jimmy menyambar kalimat Jed.

"Tapi ini cocok, tiga kotak." Rein memainkan pulpennya.

"Laah, mau gimana lagi. Gak bakalan dinilai sama Ita Purnamasari ini."  Jed tergelak.

"Eh ayuk ah keburu malem."  Kini Jimmy mulai beranjak.

"Ayok!  Rat, kamu kenapa, sakit gigi? Diem aja dari tadi?" Jed menatap Ratri.

"Ah enggak, yuk." Ratri mengemasi tasnya dan ikut beranjak.

*

Nara tersenyum pada seseorang yang duduk di hadapannya, ia menikmati makan malamnya dengan santai.  Sesekali ia melirik ke arah meja yang ramai itu. 

Wajah Rein terlihat bahagia, senyuman selalu tersungging di bibirnya.  Nara menatap gadis lain yang ada disana.  Gadis yang ini terlihat menatap Jed tanpa henti, tapi kadang melirik Rein dengan pandangan tak suka.

Nara tahu Shia dan Rein telah putus. Satu bulan yang lalu Shia dengan emosi tinggi menceritakan kembali kedekatan Jed dengan Rein. 

Shia ingin, Nara melarang Jed mendekati Rein lagi, tapi saat itu Nara hanya diam saja. Nara sudah memutuskan untuk tidak ikut campur dengan urusan adiknya. 

Ia sadar bahwa adiknya itu telah beranjak dewasa, tidak perlu perlindungan dari seorang kakak.  Perkataan Shia dulu ada benarnya, bila is terus melindungi Jed, maka adiknya itu tidak akan pernah berangkat dewasa.

Di samping itu Nara tahu cerita sebenarnya tentang Rein dan Shia dari Indra. Nara resah karena secara tidak langsung, dia lah yang telah membuat Rein mengalami kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan bersama Shia.

Nara kembali melirik meja yang kini terlihat hingar-bingar dengan gurauan seru itu.  Ia menatap wajah adiknya, raut wajah yang sama ketika Jed dibelikan gitar elektrik setelan kiri pertamanya, raut wajah bahagia. 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun