Di sebuah kota besar yang sibuk, hidup seorang pemuda bernama Raka. Ia baru saja lulus kuliah dengan gelar sarjana dari universitas ternama. Penuh semangat dan percaya diri, ia mulai mengirimkan lamaran ke berbagai perusahaan. Tapi minggu demi minggu berlalu, tak ada satu pun panggilan wawancara.
Setiap iklan lowongan kerja yang ia temui selalu bertuliskan:
"Minimal pengalaman 3 tahun di bidang serupa",
"Wajib menguasai 5 software tingkat lanjut",
"Lulusan luar negeri diutamakan".
Padahal, Raka baru saja lulus. Ia pun mulai merasa kecil di tengah lautan syarat dan kualifikasi yang tampaknya mustahil dipenuhi oleh pemula sepertinya.
Dalam keputusasaan, ia duduk di sebuah kafe kecil sambil membuka laptopnya. Di seberangnya duduk seorang pria tua yang memperhatikannya. Pria itu bertanya, "Lagi cari kerja?" Raka hanya mengangguk lesu.
"Aku dulu juga begitu," kata pria itu. "Sampai akhirnya aku berhenti mencoba menjadi kandidat sempurna dan mulai menunjukkan siapa diriku sebenarnya."
Raka tertarik. Ia pun mengubah CV-nya. Bukan lagi daftar panjang kursus, nilai IPK, atau pengalaman magang singkat. Tapi ia ceritakan dalam surat pengantarnya bagaimana ia memimpin komunitas kampus, bagaimana ia belajar secara otodidak desain dan pemrograman, bagaimana ia jatuh, gagal, lalu bangkit lagi.
Ia mengirimkan satu lamaran ke sebuah startup kecil dengan judul email: "Beri saya kesempatan, saya akan membuktikannya."
Tiga hari kemudian, ia dipanggil wawancara.
Sebulan kemudian, ia bekerja di sana. Tidak karena kualifikasinya sempurna, tapi karena semangat dan kejujuran dalam dirinya akhirnya terlihat.
Dan sejak saat itu, Raka percaya: dunia kerja memang penuh tuntutan, tapi kadang yang paling dibutuhkan adalah seseorang yang mau terus belajar, bukan yang sudah tahu segalanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI