Bayangkan, Kita sudah menunggu lama untuk menyaksikan film yang sedang ramai dibicarakan. Lampu mulai meredup, layar raksasa menyala, dan bukannya trailer film blockbuster yang muncul, justru video capaian pemerintah selama satu menit diputar terlebih dahulu. Tak bisa di-skip, tak bisa di-scroll, mau tidak mau mata Kita menatap layar itu sampai selesai.
Begitulah pengalaman penonton bioskop di berbagai kota pada awal September 2025. Sebelum film dimulai, sebuah tayangan pendek memperlihatkan sederet capaian pemerintah. Durasi hanya satu menit, tetapi isinya padat:
- aktivitas Presiden dalam berbagai kesempatan,
- klaim produksi beras nasional mencapai 21.760.000 ton hingga Agustus 2025,
- beroperasinya 5.800 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG),
- Program Makan Bergizi Gratis yang sejak 6 Januari 2025 telah menjangkau 20 juta penerima manfaat,
- peresmian 80.000 kelembagaan Koperasi Desa Merah Putih,
- dan peluncuran 100 Sekolah Rakyat.
Setelah itu, layar berganti dengan peringatan standar bioskop: larangan merekam film yang akan diputar. Ironisnya, transisi ini membuat video pencapaian pemerintah terasa seolah-olah hanyalah "iklan" sebelum hiburan utama.
Komunikasi Publik atau Nostalgia Propaganda?
Pertanyaannya, apa yang sebenarnya ingin dicapai pemerintah dengan menayangkan video capaian ini di bioskop? Bukankah masyarakat kini lebih banyak mengonsumsi informasi melalui media sosial yang sifatnya cepat, interaktif, dan personal?
Justru di sinilah terlihat adanya blind spot. Di media sosial, mayoritas pengguna terbiasa skip iklan setelah detik ke-3. Artinya, capaian pemerintah sering tidak ditonton tuntas. Bioskop memberikan solusi unik: audiens "terkunci" dalam ruang gelap, tanpa tombol skip, sehingga pesan pasti tersampaikan.
Namun, pilihan medium ini sekaligus menghadirkan risiko. Penonton datang ke bioskop untuk mendapatkan pengalaman sinematik, bukan untuk mendengar laporan pembangunan. Alih-alih merasa tercerahkan, sebagian penonton justru mengeluh di media sosial. Tayangan semacam ini mudah diasosiasikan dengan masa lalu, masa era Orde Baru, saat propaganda negara rutin diputar sebelum layar tancap dimulai.
Siapa Target Audiensnya?
Mari kita lihat profil penonton bioskop. Sebagian besar adalah anak muda, urban, menengah ke atas, dengan gaya konsumsi hiburan yang dinamis. Apakah video berdurasi satu menit berisi data statistik dan aktivitas presiden relevan untuk mereka?
Jawabannya, kemungkinan besar tidak. Generasi ini lebih peduli pada storytelling yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Bayangkan jika tayangan itu bukan tentang angka produksi beras, tetapi tentang kisah nyata seorang pelajar di pelosok yang mendapat manfaat dari Program Makan Bergizi Gratis. Atau tentang ibu-ibu desa yang kehidupannya berubah karena koperasi yang baru diresmikan. Kisah personal lebih mudah menyentuh hati ketimbang angka jutaan ton beras yang terasa jauh dari layar perut penonton.
Biaya dan Anggaran: Dadakan atau Terencana?