Ada tipe manusia yang mungkin tidak cerdas dalam arti akademik atau konseptual, namun sangat pintar dalam membaca celah. Ia tidak mampu menjelaskan suatu kebijakan, tapi tahu ke mana harus "berdiri" saat kekuasaan berpindah tangan. Ia tidak pernah benar-benar paham pekerjaannya, namun tahu siapa staf yang bisa dimanfaatkan agar tampak bekerja.
Istilah yang pas untuknya adalah: clever idiot.
Pandir secara struktur berpikir, tapi lihai secara naluriah.
Tidak paham substansi, tapi ahli dalam "bermain aman".
Dan sayangnya, dalam birokrasi hari ini, orang seperti ini tidak langka.
Tahu Diri tapi Tidak Malu
Dia tahu dia tidak kompeten, karena itu dia tidak pernah berbicara terlalu banyak saat diskusi. Namun bukan karena rendah hati---melainkan karena dia tidak tahu harus bilang apa. Maka ia memilih diam, lalu menunggu staf menyampaikan pendapat, mencatatnya diam-diam, dan mengulanginya seolah hasil refleksi pribadinya.
Kami, stafnya, awalnya berpikir dia orang yang berhati-hati. Ternyata dia hanya tidak tahu apa-apa. Dan makin lama, kami sadar, dia juga tidak merasa perlu tahu apa-apa.
Karena toh... jabatan tetap di tangannya.
Karena toh... semua akan mengalir seperti biasa.
Karena toh... sistem membiarkannya.
Lincah di Luar Akal Sehat
Sementara dia tampak kikuk saat menjelaskan tugas pokok dan fungsi, namun entah kenapa begitu percaya diri ketika berbicara dengan pihak ketiga. Mulutnya gagap saat menjelaskan dasar hukum kegiatan, tapi fasih saat bicara soal "jatah", "DP", dan "cashback."
Kami menyaksikan sendiri paradoks ini:
Bodoh saat menyusun laporan, namun cerdas saat menyusun cara mendapatkan fee.
Tidak bisa menjelaskan alur program, tapi tahu pasti siapa rekanan yang bisa "didekati".
Inilah tipe pemimpin yang tidak punya kapasitas, tapi punya koneksi. Tidak tahu isi peraturan, tapi tahu jalan pintas. Tidak mengerti indikator kinerja, tapi mengerti kapan harus "minta bagian".