Meritokrasi yang Dikeroyok Kelicinan
Banyak orang berharap bahwa sistem kepegawaian saat ini telah mengarah ke meritokrasi. Tapi di lapangan, meritokrasi sering dikeroyok oleh tiga hal: kedekatan, kelicinan, dan kepatuhan.
Nilai asesmen bisa bagus, CV bisa bersinar, tapi jika tidak dekat dengan lingkaran tertentu, maka harapan naik jabatan hanya tinggal angan.
Sementara dia yang "pintar menjaga relasi"---meski nilainya di bawah rata-rata---tetap bisa naik dan bertahan. Karena ia tidak membuat ancaman, tidak banyak tanya, dan tahu diri dalam konteks yang menyimpang.
Ironisnya, justru orang yang paling tidak paham pekerjaan sering kali yang paling tidak menimbulkan konflik. Karena mereka tidak akan mengoreksi siapa-siapa. Mereka hanya menandatangani, mendisposisi, dan---kalau ada peluang---menagih.
Ketika Ketidakmampuan bukan Lagi Jadi Hal yang Memalukan
Yang paling menyedihkan adalah:
ketidakmampuan itu tidak lagi dianggap masalah.
Bahkan jadi bagian dari keseharian birokrasi.
Tidak tahu bukan hal memalukan.
Salah ketik surat resmi bukan aib.
Menyerahkan semua kepada staf dianggap efisiensi.
Menerima fee dari rekanan dianggap wajar---asal tidak ketahuan.
Sementara staf yang masih berpikir, yang masih belajar, yang masih bertanya... mulai merasa asing.
Bukan karena mereka salah. Tapi karena mereka membuat sistem ini tampak buruk, hanya dengan berpikir benar.
Maka, Orang Baik Terpaksa Mendongak
Orang baik dan kompeten tidak punya banyak pilihan selain mendongak setiap hari, melihat ke atas dan berpura-pura tidak kecewa.
Mereka masih bertahan karena ada tanggung jawab pada pekerjaannya.
Karena malu pada diri sendiri jika ikut rusak.
Karena masih percaya pada masa depan birokrasi yang lebih waras.
Namun sejujurnya, mereka lelah.
Lelah berpura-pura hormat pada orang yang bahkan tak paham apa yang sedang ia pimpin.
Lelah berpura-pura menganggap semua ini normal.