Beberapa bulan terakhir, saya makin sering melihat nama-nama akun Instagram dengan centang biru. Bukan dari media resmi, bukan pula dari institusi profesional, namun follower-nya ratusan ribu, bahkan jutaan. Mereka disebut homeless media, akun-akun yang tidak berafiliasi dengan media mainstream, tapi rajin update isu lokal, viral, bahkan 'nguping' keresahan warga.
Dan yang mindblowing, mereka dipercaya.
Bahkan, kadang lebih dipercaya dibanding akun resmi pemerintah yang tampilannya lebih mirip poster digital ketimbang etalase interaksi publik. Di kolom komentar homeless media, warga ramai-ramai berdiskusi, mengeluh, mengadu, bahkan sesekali saling menguatkan. Sementara di akun resmi pemerintah, yang terlihat hanya beberapa unggahan penuh jargon, dan komentar netizen yang entah direspon entah tidak.
Fenomena Baru Bernama "Homeless Media"
Fenomena homeless media---istilah yang semakin populer di kalangan pegiat komunikasi---menggambarkan bagaimana masyarakat digital hari ini tidak lagi terpaku pada kanal-kanal berita konvensional. Warga tidak peduli siapa pemilik medianya, asalkan isinya cepat, relevan, dan (terasa) jujur. Bahkan, verifikasi biru dari Instagram cukup menjadi jaminan kredibilitas.
Apalagi kalau akun tersebut sering "angkat suara rakyat", misalnya menyoroti jalan rusak, keluhan pelayanan publik, atau bahkan isu-isu sosial yang selama ini kurang disentuh oleh pemerintah.
Lalu bagaimana respon pemerintah?
Pemerintah (Masih) Sibuk Menyusun SOP
Pemerintah sesungguhnya cukup sadar bahwa media sosial bukan sekadar tempat posting kegiatan, namun juga ruang dialog. Hanya saja, seolah masalahnya masih berkutat di seputar kekurangan SDM, belum adanya SOP, lambatnya koordinasi antar-OPD, dan minimnya kapasitas tim medsos untuk merespons cepat dengan empati dan akurasi.
Padahal, aktivitas warga di media sosial meningkat pesat, dan mereka datang dengan ekspektasi tinggi: ingin didengar, ditanggapi, dan dipercaya.
Sayangnya, harapan itu justru dipenuhi oleh homeless media, bukan pemerintah.