Pertanyaan ini sudah lama menggantung. Revisi Undang-Undang Penyiaran yang digadang-gadang akan menjawab tantangan era digital, hingga kini belum juga rampung. RUU Penyiaran masih tertahan di meja legislatif, terbentur oleh tarik-menarik kepentingan dan perdebatan definisi media digital yang seakan tak kunjung selesai.
Padahal, jika RUU ini berhasil dilegalkan dengan penguatan aspek digital, bisa menjadi senjata penting untuk mengatur konten daring, termasuk penyiaran melalui platform internet. Bukan untuk membatasi, tapi untuk memberi kepastian hukum bagi penyelenggara siaran, perlindungan anak, dan keadilan bagi pelaku industri media konvensional yang selama ini tunduk pada regulasi ketat namun kalah bersaing.
Tanpa revisi UU Penyiaran, kita terus membiarkan jurang antara media konvensional dan media digital semakin lebar. Stasiun TV dan radio tunduk pada rambu-rambu, sementara platform digital melaju tanpa rem.
Mengapa Harus Kembali ke TV dan Radio?
Ini bukan nostalgia. Ini soal keberlangsungan ekosistem informasi yang sehat dan adil.
- TV dan radio punya tanggung jawab moral dan hukum. Siaran mereka diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jika mereka salah siar, mereka bisa ditegur bahkan dihentikan. Tidak seperti konten viral yang penuh hoaks, fitnah, atau pornografi yang bisa lewat begitu saja di media sosial.
- TV dan radio masih jadi sumber informasi terpercaya. Di tengah tsunami informasi, media konvensional tetap menjadi jangkar validasi. Banyak konten digital justru bersumber dari laporan resmi media televisi atau radio.
- Menonton TV dan mendengarkan radio bisa menjadi aktivitas keluarga. Tidak seperti scrolling TikTok yang individualistik, televisi bisa menyatukan obrolan antaranggota keluarga. Bahkan radio bisa menjadi teman dalam perjalanan, bukan pengalih perhatian seperti ponsel. Percayalah, nonton drama korea bareng-bareng di televisi bisa sembari ngasih paham anak. Dengarkan radio bersama-sama saat perjalanan bisa membuat sekeluarga nyanyi bareng. Bukankah kebersamaan macam begini yang sudah banyak hilang di ruang keluarga kita?.
- Dukung keberlangsungan pekerja media. Setiap kali kita memilih menonton di YouTube daripada TV, kita sebenarnya ikut menyempitkan napas ribuan jurnalis, kameramen, kru produksi, dan penyiar yang menggantungkan hidup pada industri penyiaran formal.
Kampanye "Ayo Nonton TV dan Dengerin Radio Lagi"
Maka, kampanye sederhana ini bukan tentang anti-teknologi. Justru sebaliknya, ini adalah seruan untuk keseimbangan. Kita tidak bisa membendung laju teknologi, tetapi kita bisa memilih menjadi konsumen yang bijak. Menonton TV nasional adalah bentuk dukungan terhadap media lokal yang tunduk pada regulasi dan etika jurnalistik. Mendengarkan radio adalah bentuk apresiasi terhadap suara-suara yang menjaga keberagaman dan kebudayaan.
Kita butuh pemerintah yang bergerak cepat menyelesaikan revisi UU Penyiaran agar regulasi tak tertinggal dari realitas. Tapi sebelum semua itu terjadi, masyarakat juga harus mulai bergerak. Kampanye ini bisa dimulai dari rumah: nyalakan televisi saat berita malam, biarkan anak-anak menonton program anak yang resmi dan sehat. Di mobil, coba putar radio lokal sambil mengajak anak berdialog.
Satu-dua orang mungkin tidak mengubah industri. Tapi jika satu juta orang melakukannya, bisa jadi sinyal penting bagi pemangku kebijakan dan industri penyiaran untuk bangkit dan bertransformasi.
Akhirnya,
Kita tidak sedang melawan teknologi. Tapi kita harus memastikan bahwa di era serba digital ini, kita tetap punya jangkar nilai, tanggung jawab, dan perlindungan. Televisi dan radio bukan barang usang, mereka adalah institusi sosial yang kita abaikan terlalu cepat. Saat gadget makin menguasai ruang hidup kita, mungkin inilah saatnya menoleh ke belakang... untuk bisa melangkah lebih sehat ke depan.