Lebih lengkap lagi jika manusia atau masyarakat terjaga dalam hal hajiyah (kebutuhan yang bersifat sekunder yaitu kebutuhan yang bisa memperlancar terpenuhinya kebutuhan primer), dan tahsniyah (yang bersifat tersier dan pelengkap, seperti kebutuhan bersenang-senang dan rekreasi).
Kedua, syariah  diturunkan agar bisa dipahami oleh umat manusia. Semangat kontekstualisasi dan historisasi nampak tercermin dalam prinsip ini. Hal ini memang dibutuhkan disamping agar syariah bisa berlaku likulli zaman wa makaan, juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan syariah yang melebar kemana-mana tanpa memperhitungkan historisitasnya. Sekaligus juga mencegah pembekuan pemaknaan syariat. Â
Ketiga, Prinsip selanjutnya adalah taklif, yaitu kewajiban agama dibebankan dalam kerangka kemampuan dan keterbatasan manusia. Karena itu Syariah tidak bermaksud mempersulit dan membebani manusia, apalagi diluar batas kemampuannya.
Keempat, Â Syariat seyogianya melepaskan umat manusia dari kungkungan hawa nafsu. Â Dengan kata lain pelaksanaan syariah bukan karena unsur keterpaksaan, tapi sebagai hamba merdeka yang menjalankan dengan ikhlas dan dengah hati yang tulus. Pencapaian ke arah inilah tujuan terakhir dari syariat meskipun berat adanya.
Al-Bushairi memberikan tips agar lepas dari belenggu nafsu dalam syairnya yang menawan:Â
Al-Nafs ka al-tifli in tuhmilhu syabba ala hubbi al-radhai wa in tafthimhu yanfatimu (Nafsu bagaikan bayi yang menyusu, bila dibiarkan, akan kesenangan menyusu terus-terusan, namun bila anda lepas ia akan terlepas dan berhenti).
Uraian  di penghujung tulisan di atas memberikan gambaran pada kita bahwa tegaknya syariat Islam dalam satu negara, ukurannya ketika keempat prinsip tadi terpenuhi. Kalaupun tidak bisa mencakup keempat-empatnya, setidaknya kemaslahatan telah tercipta dalam tatanan bermasyarakat dan bernegara. Â
Walhasil, Â bolehlah kita katakan:Â
"Tegaknya syariat di satu negara tak lain adalah teguhnya keadilan dan tegaknya kemaslahatan...."