Mohon tunggu...
Ilyas
Ilyas Mohon Tunggu... Penulis

Penulis Paruh waktu yang mengabdi di Perbatasan Indonesia. Jatuh cinta pada literasi sejak membaca karya Ahmad Tohari.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menjadi Penulis di Era yang Bising

11 September 2025   10:55 Diperbarui: 11 September 2025   10:55 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pagi itu, aku berdayung menyusuri tepi sungai yang nyaris tak terdengar. Airnya mengalir pelan, seperti menolak tergesa. Di permukaan, bayangan pepohonan menari-nari, terpantul begitu jernih hingga aku bisa melihat bentuk daun yang gugur beberapa meter dari perahuku.

Angin hanya lewat sesekali lamat-lamat, membelai pelan seperti ibu yang menenangkan anaknya agar tidur kembali.

Di sungai inilah, aku bayangkan tempat para penulis idealis tinggal.

Mereka yang berjalan sendiri, tanpa peta pasar, tanpa pemandu algoritma. Menulis bukan karena diminta, bukan karena deadline, bukan karena tren. Tapi karena ada sesuatu di dada mereka yang menolak diam. Sesuatu yang ingin keluar, meski belum tentu disambut.

Mereka menuliskan hal-hal yang mungkin tidak dibutuhkan orang banyak, tapi sangat dibutuhkan oleh satu,dua hati yang sedang menunggu kejujuran.

Di sungai itu, aku duduk dan membuka buku catatan. Mencoba menulis tanpa mengkhawatirkan siapa yang akan membaca. Menulis tentang sepi yang tak menyakitkan, tentang luka yang diajak berdamai, tentang dunia yang semestinya pelan seperti air ini.

Sesekali, aku mendengar kabar dari sungai sebelah. Sungai yang jauh lebih ramai, jauh lebih riuh. Aliran sungainya bahkan tak mampu memantulkan langit biru.

Katanya, di sana air bergerak cepat, suara tertawa bersahut-sahutan. Dayung saling berlomba. Perahu silih berganti lewat membawa penumpang, membawa muatan, membawa janji-janji yang dikemas rapi dalam judul yang gemerlap.

Di sana, para penulis komersil menanam kata-kata seperti menabur umpan. Mereka tahu persis jam berapa pembaca lapar. Mereka tahu frase mana yang membuat klik lebih banyak, kalimat mana yang membuat orang berhenti scroll.

Tentu saja, sungai itu menarik, menggiurkan, menghasilkan. Airnya penuh kemungkinan. Tapi juga keruh. Dasarnya tak terlihat. Dan kalau kau tercebur tanpa peta, bisa-bisa terseret arus entah ke mana.

Pernah suatu hari aku mencoba datang ke sungai itu. Aku berusaha menyesuaikan. Menulis dengan irama cepat, meniru gaya yang sedang naik daun, mencari kata kunci yang disukai mesin pencari.

Aku tidak menyalahkan sungainya. Tidak. Itu sungai yang hidup. Tapi entah kenapa, setiap selesai menulis, aku merasa seperti sedang menanam benih di ladang yang bukan milikku.

Aku kehilangan rasa itu. Rasa segar seperti pagi di sungai yang jernih. Rasa percaya bahwa kata-kata bisa tumbuh bukan hanya karena dibaca, tapi karena lahir dari tempat yang jujur.

Maka aku kembali ke sungai awal. Yang tenang. Yang tidak populer. Yang bahkan mungkin tak tampak di peta besar dunia tulis menulis. Tapi di sanalah aku merasa tidak kehilangan diri.

Aku belajar, bahwa menjadi penulis idealis bukan tentang membenci keramaian. Tapi tentang menerima bahwa tidak semua perjalanan harus disambut sorak-sorai.

Beberapa perjalanan memang harus ditempuh dalam diam. Seperti sungai yang jernih itu. Yang tak banyak bicara, tapi selalu mengalir. Perlahan, tapi pasti membentuk jalan sendiri di tengah bebatuan.

Hari ini aku masih di sana. Masih menulis di tepi sungai yang tenang. Masih bertanya, masih mencari, tapi tidak lagi gelisah. Karena aku tahu, air yang jernih akan menemukan jalannya sendiri. Dan mereka yang benar-benar haus, akan datang untuk meneguk. Bukan karena ramai. Tapi karena segar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun