Mohon tunggu...
Iffat Mochtar
Iffat Mochtar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profesional - Wiraswasta

Country Manager di sebuah Perusahaan Swasta Asing yang bergerak di sektor Pertambangan. Berdomisili di kota minyak Balikpapan, Kalimantan Timur. Memiliki banyak ketertarikan di bidang marketing, traveling, kuliner, membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sayang... Masih Ada Secercah Harapan untuk Kita...

10 Mei 2022   07:00 Diperbarui: 10 Mei 2022   07:04 1675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tragedi Mei 1998 | Dokumen Pribadi

Bullet Train melesat meninggalkan West Kowloon Station di Hong Kong melintasi Kota Shenzhen menuju Kota Guangzhou di daratan Tiongkok. 

Kecepatan kereta yang begitu cepat sekitar 350 km/jam terasa melayang seperti sedang berada di sebuah kursi pesawat terbang. Tidak terasa adanya goncangan ataupun suara berisik karena kereta cepat ini digerakkan dengan sistem Maglev (magnetic levitation).

Dari jendela kereta nampak berkelebatan gedung-gedung perkantoran dan apartemen, bangunan pabrik kemudian silih berganti dengan pemandangan sungai dan sesekali masuk ke dalam terowongan yang gelap yang bergerak begitu cepat.

Aku duduk bersebelahan dengan istriku, Sherly. Dia duduk di kursi dekat jendela sambil menopang wajahnya dengan tangan kanannya. Tatapan matanya menghunjam ke depan tanpa berkedip. Ada guratan senyum di wajahnya yang terlihat tenang dan seperti sedang menikmati perjalanan dengan rasa bahagia. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan.

Aku menoleh ke arah jam tangan yang kukenakan. Jarum jam menunjukkan pukul 10:15 hampir memasuki waktu siang hari. Kereta terus melaju sesekali berhenti di beberapa stasiun untuk menurunkan dan menaikkan penumpang lainnya.

"Mau minum?" tawarku memecah keheningan sambil menyodorkan sebotol air mineral yang aku keluarkan dari dalam tas selempangku.

Dia mengambilnya kemudian menuangkan ke dalam mulutnya beberapa kali tegukan. Setelah itu kembali dalam suasana keheningan. Masing-masing menikmati pemandangan yang dilewati dari samping jendela kereta.

Hari Kamis tanggal 14 Mei 2018. Aku sedikit menghela nafas. Cuaca tampak cerah terlihat dari jendela kereta. Pada pertengahan bulan Mei memang biasanya sudah mulai memasuki musim panas di Tiongkok walaupun temperatur masih tergolong sejuk.

Tanpa sengaja aku kembali teringat dengan kejadian yang menimpa keluarga kami 20 tahun yang silam. Tepat kejadiannya pada tanggal yang sama yaitu tanggal 14 Mei di tahun 1998.

Siapa yang tidak ingat dengan kejadian tersebut, apalagi kami yang menjadi korbannya secara langsung. Kerusuhan massal...Iya kerusuhan Mei 1998.

Tak ada yang mengira jika kejadian tersebut bisa membawa trauma yang begitu mendalam khususnya bagi para korban yang mengalaminya. Termasuk keluarga kami.

Bermula dari aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa di Kampus Trisakti Jakarta yang menuntut Pemerintah untuk segera menyelesaikan krisis finansial yang sudah berlangsung sejak tahun 1997.  

Awalnya demonstrasi tersebut berjalan dengan lancar dan tertib. Seperti biasanya mahasiswa meneriakkan tuntutannya kepada Pemerintah. Aparat keamanan pun menjaga keamanan dengan barikade kawat berduri agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun ternyata demonstrasi terus berlanjut dengan pembakaran ban-ban mobil di jalanan dan itupun masih bisa dikendalikan oleh aparat keamanan.

Aksi Unjuk Rasa Mahasiswa Tanggal 11 Mei 1998 di Depan Kampus Trisakti Jakarta | Sumber Foto Reuters
Aksi Unjuk Rasa Mahasiswa Tanggal 11 Mei 1998 di Depan Kampus Trisakti Jakarta | Sumber Foto Reuters

Pada tanggal 12 Mei 1998 demonstrasi berubah menjadi sebuah kerusuhan setelah 4 orang mahasiswa yang sedang berdemonstrasi tewas tertembak aparat di dalam lingkungan kampus Trisakti. Kondisi semakin memanas dan mulai tak terkendali.

Kemudian kerusuhan terus menjalar mulai dari pembakaran pom bensin yang terletak di Jalan Raya Grogol dan terus bergerak ke wilayah lainnya khususnya di kawasan pusat perdagangan Pecinan seperti di Glodok dan Jembatan Lima.

Kerusuhan sulit dihentikan karena sudah melibatkan masyarakat luas dengan tuntutan yang lebih serius lagi yaitu tuntutan untuk menurunkan pemerintahan yang sah yaitu Pemerintahan Orde Baru.

Tanggal 13 Mei, kerusuhan terus berlanjut dan bergerak begitu cepat dan meluas ke hampir seluruh wilayah Ibukota.

Aku terus memantau kejadian tersebut melalui siaran televisi dan juga radio Sonora yang secara terus menerus menyiarkan detik demi detik kerusuhan tersebut baik siang maupun malam hari.

Terasa ada sedikit kekhawatiran atas kejadian yang tidak terkendali tersebut. Namun aku berpikir masih terlalu jauh untuk bisa merambat hingga ke kota Tangerang.

"Waduh...Jakarta tambah rusuh...dimana-mana orang demo!"

Kataku kepada istri yang juga sedang menonton televisi yang dipasang di atas dinding dekat tangga ruko.

Dia diam saja mungkin tidak terlalu menarik perhatiannya karena dalam beberapa bulan terakhir ini sudah sering terjadi aksi unjuk rasa para mahasiswa di Jakarta. Sehingga merasa sudah tidak asing lagi kegiatan seperti itu.

"Tapi ini kelihatannya lebih parah...sudah banyak terjadi pembakaran di beberapa tempat," tambahku lagi yang menganggap kegiatan unjuk rasa saat ini jauh lebih serius daripada yang sebelumnya.

Kami sekeluarga tinggal di daerah Tangerang tepatnya di Perumahan Villa Tangerang Regensi Kecamatan Pasar Kemis yang terletak di Jalan Mauk tak jauh dari Kutabumi. Aku dan istri menjalankan usaha dagang kecil-kecilan berjualan kerupuk dan amplang khas Bangka, asinan buah termasuk buah-buahan segar, susu bubuk, kue-kue kering dan masih banyak jenis dagangan lainnya yang hampir mirip dengan sebuah mini market.

Letak toko kami cukup strategis yaitu di sebuah komplek ruko di Jalan Vila Tangerang Regensi 1, dimana di deretan komplek ruko tersebut, juga ada bank BCA, mini market Indomaret, toko pakaian, toko elektronik dan toko beras sehingga kelihatan cukup ramai setiap harinya.

Saat itu kami memiliki dua orang anak laki-laki yang masih kecil-kecil bersekolah di kelas 1 dan kelas 3  Sekolah Dasar di salah satu sekolah Kristen yang tidak jauh dari tempat tinggal kami.

Keluarga muda yang baru mulai merintis usaha dan belum memiliki banyak pengalaman tentang kehidupan. Setiap pagi aku mengantar anak-anak ke sekolah kemudian setelah itu bersiap untuk membuka toko dagangan kami. Begitulah kerutinan aku dan istri setiap harinya.

Pukul 07:30 pagi hari, seperti biasa setelah mengantar anak-anak ke sekolah aku mulai membuka pintu toko. Sementara istriku masih sibuk mengerjakan tugas rutin rumah tangga seperti mencuci dan mengepel di lantai dua ruko.

Sebenarnya kami masih memiliki rumah tinggal lainnya yang tidak terlalu besar di dalam komplek perumahan tak jauh dari toko kami. Tapi mengingat kesibukan di toko setiap harinya maka kami memutuskan untuk memindahkan semua perabotan rumah ke ruko lantai dua supaya tidak repot untuk pulang pergi ke toko setiap harinya sehingga rumah kami yang berada di dalam komplek tersebut dibiarkan kosong.

Karena usaha kami masih kecil dan masih merintis, maka segala sesuatunya kami kerjakan berdua saja tanpa ada karyawan atau pembantu yang membantu kami. Itulah risiko yang harus kami pikul bersama apalagi usaha yang kami jalankan belum berkembang karena modal yang tidak terlalu besar. Memang terasa sangat sulit waktu itu. Tapi itu sudah menjadi keputusan kami berdua untuk merubah kehidupan kami untuk bisa bersama membesarkan anak-anak.

Beberapa tahun sebelumnya aku dan istri serta anak-anak harus hidup terpisah dikarenakan sehabis menikah aku harus bekerja di sebuah proyek pertambangan batubara di Kalimantan Timur. Sementara itu istri dan anak-anakku masih tinggal di rumah orang tuanya di kampung halaman kami di Pulau Bangka. Setelah terkumpul sedikit modal barulah kemudian kami memutuskan untuk pindah ke Tangerang dan mulai membuka usaha kecil-kecilan dengan menyewa ruko untuk berjualan.

Selama hampir sepuluh bulan kami menjalankan usaha di ruko, semua terasa lancar dan mulai menyesuaikan diri dengan usaha baru tersebut sebagai seorang pedagang. Pada awalnya memang tidaklah mudah untuk merubah kebiasaan dari seorang pekerja yang bekerja di proyek pertambangan menjadi seorang pedagang walaupun hanya pedagang eceran kecil-kecilan saja. Tapi dengan keyakinan penuh, aku dan istri harus bisa menjalaninya.

Situasi di sekitar toko pada pagi hari di tanggal 13 Mei 1998 tidak jauh berbeda seperti biasanya. Masing-masing pemilik toko dan karyawannya mulai sibuk membersihkan tokonya bahkan saling menyapa satu sama lainnya karena sudah saling mengenal.

Para pengunjung juga belum banyak terlihat hanya beberapa orang yang datang berbelanja di mini market Indomaret atau yang mengunjungi gerai ATM BCA untuk mengambil uang atau melakukan transaksi perbankan lainnya. Beberapa tukang becak juga sudah nongkrong menunggu penumpang di depan komplek ruko tersebut.

Sampai pukul 10:00 pagi hari situasi masih terasa aman-aman saja dan belum ada ketegangan apapun khususnya di dekat pemukiman kami. Walaupun di Jakarta khususnya di Pusat Kota dan di Jakarta Barat serta di Jakarta Timur sudah mulai tampak adanya ketegangan. Dari siaran langsung berita di beberapa saluran televisi maupun di radio-radio FM seperti radio Sonora dan radio Elshinta terus menyiarkan berita mengenai kerusuhan dan pembakaran di mana-mana.

Demikian pula dengan demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dan masyarakat juga terus semakin meluas dan memanas. Aparat keamanan terus memblokir pergerakan massa yang mulai merangsek ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan Istana Kepresidenan. Ribuan orang turun tumpah ke jalan berunjuk rasa.

Terlihat situasi sudah mulai tidak terkendali lagi. Penembakan peluru gas air mata dan penyemprotan air ke arah demonstran tak terbendung lagi. Bahkan hingga malam harinya beberapa mahasiswa menjadi korban penembakan peluru tajam hingga tewas yang belum diketahui darimana asalnya.

Suasana ibukota Jakarta semakin mencekam. Aparat keamanan tidak bisa lagi mengendalikan situasi keamanan. Penjarahan terjadi dimana-mana khususnya di pusat-pusat perbelanjaan hingga ke pembakaran mall-mall yang berakibat banyaknya korban tewas yang terjebak di dalam gedung tersebut. Seperti di mall Klender di Jakarta Timur, mall Slipi dan beberapa mall lainnya di kawasan Cengkareng.

Tidak hanya itu saja. Kekerasan juga terjadi dimana-mana khususnya yang menimpa orang-orang yang beretnis Tionghoa. Mulai dari penjarahan dan pembakaran rumah, toko dan harta benda dirampas, pemukulan, pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kerusuhan berubah menjadi kerusuhan rasial yang menjadi sasarannya adalah etnis Tionghoa.

Foto Penjarahan pada Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta | Sumber Foto Choo Youn-Kong/AFP/Getty Images
Foto Penjarahan pada Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta | Sumber Foto Choo Youn-Kong/AFP/Getty Images

Aku terus memantau situasi dari siaran berita di televisi. Terasa sangat menakutkan dan mencekam hingga pada malam harinya. Aku pun mulai antisipasi untuk mengamankan beberapa dokumen penting ke rumah saudaraku yang berada di dalam komplek perumahan. Juga mobil pick-up yang aku punya satu-satunya  kupindahkan ke rumahku yang sudah aku kosongkan di dalam komplek perumahan tersebut.

Tanggal 14 Mei 1998 pagi hari. Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, aku membuka pintu ruko dan kembali memajang barang-barang dagangan pada tempatnya. Ada sedikit keanehan yang aku rasakan kala itu yang tidak seperti biasanya.

Beberapa anak remaja dan orang dewasa yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, mereka pagi-pagi sekali sudah duduk-duduk di depan toko di sepanjang komplek ruko tersebut.

"Ma...hati-hati ya dengan orang-orang yang ada di depan toko kita, mereka mencurigakan, agak aneh gelagatnya!" Aku memperingatkan istriku agar ia lebih waspada.

"Mungkin mereka lagi ada kerjaan atau lagi menunggu seseorang," sahut istriku tanpa ada rasa curiga.

Aku pun kemudian tidak memperdulikan mereka lagi dan sibuk mengerjakan tugas-tugas toko termasuk bersih-bersih dan menyusun barang-barang dagangan biar kelihatan rapih.

Selesai bersih-bersih aku pun menghampiri tetangga penjaga toko sebelah untuk mengobrol mengenai kondisi kerusuhan di Jakarta beberapa hari terakhir ini. Katanya kerusuhan kemarin sudah menjalar ke arah Kalideres tak jauh dari perbatasan Kota Tangerang. Tapi kami merasa masih aman-aman saja sehingga belum terpikirkan untuk menutup toko.

Sekitar pukul 10:00 pagi tanggal 14 Mei 1998, tiba-tiba para supir angkot yang melewati jalan di depan toko kami berteriak-teriak memberitahukan kami untuk segera menutup toko karena katanya ada serangan yang akan menjarah toko dan membuat kerusuhan.

"Ayo cepat-cepat tutup tokonya, ada serangan...cepat-cepat keluar!" 

Teriak para supir angkot sambil membunyikan klakson mobilnya terus menerus.

Dengan tergesa-gesa aku mengajak istriku keluar dari toko dan segera menutup toko tanpa terpikirkan untuk membawa barang-barang perhiasan dan uang simpanan yang masih ada di lemari dan laci di meja toko. Kami pun segera menuju ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor untuk menjemput anak-anak kami yang masih ada di sekolah.

Sesampainya di rumah sekolah sudah mulai tampak ketegangan dan kepanikan para orang tua murid mencari anak-anaknya di ruang kelasnya masing-masing. Dibantu dengan para guru dan petugas di sekolah akhirnya kami pun menemukan anak kecil kami yang bernama Yockie sementara anak yang paling besar bernama Ardy belum ditemukan karena kelas sedang waktu beristirahat pada saat itu. Mencari kesana kemari akhirnya kami pun menemukannya di sudut ruangan perpustakaan sedang bermain bersama teman-temannya.

Segera kami ajak pulang setelah berpamitan dengan wali kelasnya. Kami tidak lagi pulang ke ruko tapi langsung menuju ke rumah kosong kami yang terletak di dalam komplek perumahan karena aku pikir pasti lebih aman di sana daripada di ruko apalagi berdekatan dengan rumah saudara yang juga tinggal di sana.

Siang harinya sekitar pukul 13:00 sudah terlihat asap hitam mengepul hampir di berbagai arah. Sepertinya kawasan ruko tempat kami berjualan sudah dijarah dan dibakar oleh massa juga terlihat asap hitam mengepul di arah pertokoan di Kutabumi. Sangat mencekam ditambah lagi dengan hilir mudik orang-orang dan kendaraan sambil berteriak-teriak menambah kepanikan semua orang.

Aku pun mencoba menelpon kantor Polsek Jatiuwung untuk meminta pertolongan menghalau orang-orang yang menjarah toko kami, tapi tidak ada jawaban dari mereka kemungkinan semua sedang sibuk.

"Yang penting kita selamat dulu di rumah ini," kataku menenangkan istri dan anak-anak sambil menatap mereka dengan wajah sedih setibanya di rumah.

"Mungkin toko kita sudah habis dijarah dan dibakar orang," lanjut istriku dengan suara lirih.

"Gak apa-apa uang masih bisa dicari, kita masih ada tabungan di rekening sedikit," kataku lagi meyakinkannya.

Di rumah kosong ini kami tidak memiliki perabotan apa-apa lagi termasuk tempat tidur dan pakaian semua sudah kami pindahkan ke ruko. Saat ini hanya ada satu pakaian yang melekat di tubuh kami masing-masing. Aku dan istriku hanya memakai kaos t-shirt dan celana pendek sementara anak-anak kami hanya memakai pakaian seragam sekolahnya. Itu saja. Berarti kami tidak memiliki pakaian lain lagi untuk pakaian pengganti nanti malam.

Tak lama saudaraku juga datang ke rumah bergabung dengan kami. Untungnya mereka berbaik hati memberikan pakaian mereka untuk kami pakai. Hanya sayangnya tidak ada pakaian kecil untuk dipakai oleh Ardy dan Yockie karena saudaraku tersebut masih pasangan baru dan belum memiliki anak kecil. Terpaksa kaos dewasa seukuran mereka juga dipakaikan untuk Ardy dan Yockie untuk pakaian penggantinya.

Melihat anak-anak memakai baju kedodoran, ada rasa haru bercampur lucu melihat mereka. Kaos yang dipakai mereka menutup hingga ke bagian kakinya dan tidak perlu lagi pakai celana karena memang tidak ada celana seukuran mereka.

"Gak apa-apa ya nak, pakai yang ini saja dulu, besok papa beli yang baru lagi yang seukuran kalian," kataku membujuk mereka untuk memakainya walaupun aku tahu jika tidak ada lagi toko pakaian yang buka di tengah kondisi saat ini. Bahkan toko-toko pakaian pun mungkin sudah habis ludes dijarah dan dibakar.

Orang-orang yang tinggal di dalam komplek perumahan itu pun juga keluar di jalan gang rumahnya masing-masing saling bercerita mengenai kondisi saat ini.

Kondisi masih terus mencekam hingga malam harinya. Situasi betul-betul sudah tidak terkendali lagi. Siaran radio Sonora terus berkumandang menyiarkan secara langsung berita-berita kerusuhan yang didapat dari orang-orang yang melaporkannya. Tidak ada yang tahu apakah itu informasi hoaks atau tidak karena pada waktu itu belum banyak yang mengerti adanya informasi hoaks, semua informasi dianggap benar.

Bahkan pada malam harinya ada informasi jika warga di kampung sebelah akan menyerang komplek perumahan untuk menjarah harta benda kami. Semua tampak tegang dan masing-masing diperintahkan untuk mempersenjatai diri untuk menahan serangan dari kampung sebelah. Ada yang membawa kayu, golok, samurai, tongkat besi dan banyak lagi senjata lainnya, kondisi seperti sudah siap untuk berlaga di medan perang. Hidup atau mati! Hanya itu pilihannya.

Toko-toko di sepanjang jalan menuju ke arah komplek rumah tinggal kami oleh kelompok penjarah dipaksa untuk dibuka dan dijarah oleh mereka. Beruntungnya mereka tidak masuk ke dalam komplek perumahan kami. Semua warga perumahan terus berjaga sepanjang malam hingga pagi tanpa ada waktu untuk memejamkan mata sedikitpun.

Keesokan harinya aku penasaran untuk melihat kondisi toko kami. Aku dan istri pergi naik sepeda motor ke toko, sementara anak-anak dititipkan kepada saudara kami yang tinggal bersebelahan.

Cukup syok juga melihat kondisi ruko kami, juga ruko-ruko yang ada di sepanjang komplek pertokoan tersebut. Semua hancur terbakar tak terkecuali beberapa rongsokan mobil dan motor bekas terbakar berserakan di depan bangunan ruko tersebut.

Masih terasa mencekam walaupun sudah banyak terlihat para pemilik toko berada di sana melihat kondisi tokonya sambil bercerita mengenai kondisi kemarin sewaktu terjadi penjarahan dan pembakaran.

"Mula pertama kalinya ada mobil truk yang membawa orang-orang yang berambut cepak. Kemudian mereka turun membongkar paksa pintu-pintu ruko dengan linggis dan menyuruh orang-orang untuk menjarahnya. Setelah dijarah baru kemudian mereka bakar dengan bensin terus setelah itu mereka pergi lagi." Cerita orang-orang yang berada di situ.

"Yang punya toko pakaian keliatan agak stress sekarang karena mereka melihat langsung tokonya dijarah dan dibakar. Kemarin mereka berteriak-teriak sambil menangis memohon agar tidak dijarah dan tidak dibakar tokonya tapi ternyata kemudian dibakar juga."

"Engkoh dan Encik yang punya toko beras dan toko elektronik itu juga belum sempat keluar dari toko sewaktu penjarahan. Mereka masih ada di dalam kemudian disuruh keluar, kalau tidak cepat keluar mungkin bisa ikutan terbakar di dalam," yang lainnya ikut menimpali.

"Motor punya karyawan bank BCA dan karyawan Indomaret juga ikut dibakar."

"Itu mobil yang punya bengkel di sebelah. Mungkin punya orang lain yang sedang memperbaiki mobilnya di situ," sambil menunjuk ke arah bengkel mobil yang terbakar.

Begitulah cerita-cerita beberapa orang yang ada di situ menjelaskan mengenai situasi kemarin sewaktu terjadinya kerusuhan. Untungnya kami tidak berada di toko pada saat kejadian penjarahan dan pembakaran terjadi. Jika ada di dalam toko tidak terbayangkan betapa paniknya kami. Bahkan katanya ada salah seorang karyawan toko di sebelah kami yang terjun dari lantai dua di belakang rukonya yang menyebabkan hingga kakinya patah karena saking paniknya.

"Tukang parkir dan abang-abang becak yang setiap hari nongkrong di depan sini pun ikut-ikutan menjarah dan membawa barang-barang jarahan tersebut," tambah mereka lagi.

Sambil mendengarnya aku geleng-geleng kepala serasa masih dalam mimpi. Aku melihat puing-puing yang masih tersisa di dalam toko kami. Etalase kaca yang pecah berantakan dan berhamburan di lantai. Masih terlihat adanya ceceran darah yang sudah mengering bekas para penjarah yang mungkin saling berebutan barang-barang kami kemarin. Rak-rak yang berbahan kayu habis terbakar.

Kami naik ke lantai dua melihat kemungkinan masih adakah barang-barang yang tersisa. Ternyata semua ludes dijarah mulai dari tempat tidur, sofa, lemari pakaian, kompor gas, kulkas dan banyak lagi yang lainnya.

"Gak habis pikir gimana mereka menurunkannya begitu cepat padahal dulu kita begitu sulit untuk menaikkannya ke lantai dua," kataku lirih.

Tampak sedih di wajah istriku.

"Kita kerja setengah mati setiap hari, siang dan malam, sekarang ludes dalam waktu sesaat," jawab istriku pelan.

Terlihat butiran bening mengalir dari sudut matanya.

Ada perasaan jengkel, marah, sedih, putus asa semua berkecamuk menjadi satu. Memikirkan usaha apalagi yang harus dilakukan setelah ini. Kita baru saja memulai usaha semua hancur tak berbekas.

"Ayo kita kembali lagi ke rumah!" ajakku kepada istriku.

"Tak perlu kita sesali lagi. Biarkanlah mereka menikmati barang-barang jarahan dari kita. Belum tentu hidup mereka nanti lebih baik dari kita."

Dalam hati aku menahan rasa amarah yang teramat sangat seolah tak terima dengan perlakuan seperti itu.  

Kamipun kembali lagi pulang ke rumah setelah melihat kondisi toko kami yang sudah benar-benar habis. Tak ada barang-barang yang bisa diselamatkan.

Merasa ada sedikit trauma untuk kembali membuka usaha apalagi di tengah kondisi seperti ini. Belum tentu bisa cepat pulih kembali.

Berita-berita melalui siaran televisi menggambarkan betapa parahnya kondisi kota Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Semua aktivitas masyarakat lumpuh. Situasi politik bergejolak. Kondisi chaos. Aparat keamanan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengendalikan situasi. Kerusuhan dan aksi demonstrasi merebak dimana-mana. Sistem perbankan lumpuh. Untuk mengambil uang di ATM pun kita harus antri panjang dan dibatasi maksimal hanya bisa menarik satu juta Rupiah saja dan itu pun tidak di semua ATM bisa dilakukan penarikan.

Tanggal 15 Mei 1998 sore hari. Panglima Kodam Jaya  beserta jajarannya baru mulai terlihat berkonvoi dengan beberapa kendaraan panser di jalanan ibukota untuk memantau situasi keamanan.

Penjarahan dan pembakaran sudah mulai tampak reda tapi perasaan takut masih menghantui kami semua. Di mana-mana hanya terlihat onggokan puing-puing kendaraan terbakar dan bangunan-bangunan menghitam bekas kebakaran.

Kami tiduran di kasur lipat yang dipinjamkan oleh saudaraku. Terasa badan sangat lelah sekali apalagi dalam dua hari terakhir tidak bisa tidur dikarenakan harus berjaga-jaga di dalam komplek perumahan.

"Sudahlah jangan kita pikirkan lagi kejadian kemarin, kita mulai lagi, yang penting keluarga kita semua selamat," kataku terus menenangkan istriku.

Anak-anak sudah tertidur lelap. Mungkin mereka pun belum begitu memahami kondisi yang terjadi.

"Jika kondisi masih belum pulih mungkin sebaiknya kamu dan anak-anak pulang dulu ke Bangka supaya anak-anak kita bisa bersekolah dulu di sana, sambil menunggu kondisi kembali aman," kataku kepada istri.

Dia hanya terdiam saja tanpa bisa berkata apa-apa.

"Nanti aku antarkan kalian pulang ke Bangka setelah itu aku kembali lagi ke sini sambil cari-cari kerja apa untuk biaya hidup kita nanti."

Aku pun belum yakin dengan masa depan kami nanti dan masih betul-betul merasa bingung, usaha apa yang harus aku lakukan. Semua masih berupa tanda tanya besar karena kondisi ke depan tidak ada yang tahu.

Setelah mengantar istri dan anak-anakku pulang ke Bangka, aku pun kembali lagi ke Tangerang. Beruntungnya adikku mengajakku untuk bekerja bersamanya menjadi tenaga sales variasi mobil di Jakarta. Karena tidak ada pilihan lain akupun mengikutinya menjadi sales variasi mobil.

Kondisi perpolitikan di Indonesia sudah perlahan-lahan normal kembali setelah Presiden Soeharto lengser dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie. Aktivitas perdagangan sudah kembali bangkit lagi.

Aku pun sudah kembali mendapatkan pemasukan dari aktivitas menjadi sales variasi mobil tersebut. Setelah tiga bulan berada di Bangka, istri dan anak-anakku kujemput lagi untuk kembali ke rumah kami di Tangerang sambil menyicil membelikan perabotan rumah tangga yang baru lagi.

Sekitar dua tahunan bekerja sebagai tenaga sales variasi mobil, kehidupan kami masih terasa sangat sulit karena kondisi perekonomian Indonesia masih belum bangkit seratus persen seperti semula. Tetapi kalau hanya untuk biaya makan dan kebutuhan untuk anak-anak sekolah boleh dibilang masih cukup atau pas-pasan saja.

"Gimana kalau saya kerja lagi di Kalimantan, kamu setuju gak?" usulku kepada istri suatu hari.

Semula ia hanya diam saja.

"Kemungkinan masih ada harapan untuk kita bangkit lagi. Setelah nanti terkumpul cukup modal baru kita usaha lagi," kataku membujuknya.

"Terserah kamu saja gimana baiknya," katanya lirih seolah pasrah dengan keadaan.

"Kalau gitu aku akan coba hubungi bos bule aku dulu untuk menanyakan ke dia apakah masih ada kesempatan untuk masuk bekerja lagi di tempat yang lama. Siapa tau dia bisa membantu kita. Kamu berdo'a saja ya"

Ternyata aku sangat beruntung, begitu menghubunginya aku langsung diterima kembali bekerja di perusahaan lama yaitu sebuah perusahaan distributor alat berat yang bergerak di industri pertambangan. Aku ditempatkan di Kota Balikpapan sebagai Supervisor gudang spareparts. Teman-teman lama yang masih mengenaliku juga cukup memberikan support kepadaku. Dan tidak membutuhkan waktu yang lama hanya sekitar 1 tahun saja akhirnya aku bisa kembali memboyong keluargaku untuk tinggal bersama di Kota Balikpapan.

"Benar kan...seperti aku bilang ke kamu dulu bahwa harapan selalu terbuka untuk orang-orang yang mau berusaha," kataku kepada istriku sambil tersenyum.

Ia pun tampak begitu bahagia setelah bisa berkumpul kembali.

"Belum tentu orang-orang yang sudah membuat kita susah dulu hidupnya lebih baik, jangan-jangan mereka sekarang hidupnya jauh lebih susah dari sebelumnya. Tuhan maha melihat," kataku.

Karirku di perusahaan dari tahun ke tahun terus meningkat. Mulai dari posisi Supervisor, setahun kemudian diangkat menjadi Manager di departemen spareparts kemudian pindah ke departemen workshop remanufacturing hingga kemudian menjabat sebagai Manager Business Development.

Setelah berkarir cukup lama di perusahaan alat berat tersebut, aku pun mendapat tawaran di salah satu perusahaan asing lainnya yang memproduksi komponen alat berat yang juga dipakai di industri pertambangan dengan posisi sebagai General Manager untuk wilayah Indonesia dan Asia. Dan selanjutnya beberapa tahun kemudian ditunjuk sebagai Direktur di perusahaan tersebut.

Waktu bergulir begitu cepat. 20 tahun sudah berlalu sejak peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Trauma kemungkinan masih terus menghantui orang-orang yang masih belum bisa move-on. Tapi bagi kami kejadian tersebut adalah bagian dari perjalanan hidup kami untuk melangkah jauh lebih baik lagi.

"Sayang...percayalah...masih ada secercah harapan untuk kita yang mau terus berjuang!"

Kataku sambil menggenggam tangan istriku.

Ia tersenyum lalu merebahkan kepalanya di pundakku.

Kereta cepat terus bergerak maju menuju Kota Guangzhou, kota terbesar di sebelah Selatan daratan Tiongkok. Hanya membutuhkan sekitar 1 jam perjalanan saja untuk tiba di Guangzhou South Station. 

Aku dan istri begitu menikmati perjalanan liburan di Hong Kong dan beberapa kota di Tiongkok lainnya seperti di Guangzhou, Guilin dan Nanning selama 2 minggu sekaligus reunian dengan saudara-saudara sepupu kami yang saat ini tinggal menetap di sana.

Roda kehidupan terus berputar seperti sebuah roller coaster. Kita tidak pernah tahu, jika saat ini kehidupan kita terasa begitu sulit seolah-olah sudah berada di titik nadir tapi suatu saat nanti mungkin saja roda kehidupan bisa bergerak membawa kita berada di atas. Kita hanya bisa berusaha dan berdo'a selebihnya serahkan kepada Yang Maha Kuasa untuk memutuskannya.

Ditulis oleh: Iffat Mochtar

Note: Cerita pendek ini ditulis berdasarkan kisah nyata dari penulis sendiri pada saat peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya. Semoga dengan berbagi cerita ini bisa dijadikan sebagai informasi tambahan mengenai sejarah kelam Bangsa Indonesia pada masa peralihan Orde Baru ke masa Reformasi. Khususnya bagi generasi muda yang tidak ikut merasakan tragedi memilukan tersebut. 

Berdasarkan dari laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 menyebutkan, jumlah korban tewas Tragedi Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya berjumlah 1.339 jiwa baik yang meninggal akibat dibakar atau terbakar, akibat senjata juga termasuk korban perkosaan sebanyak 52 orang. Peristiwa ini tentu saja sangat memilukan bagi para korban dan keluarganya yang hingga sekarang masih belum terungkap siapa dalang yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun