WRITING IS HEALING
Oleh Idris Apandi, Penulis 1100-an Artikel dan 57 Buku
Pendahuluan: Menulis, Menyembuhkan yang Tak Terucapkan
Ada kalanya kita merasa penuh, sesak, bahkan bising oleh pikiran sendiri. Masalah hidup datang silih berganti, kenangan masa lalu masih menempel, dan masa depan terasa samar. Dalam keadaan seperti itu, banyak orang mencari pelarian: ada yang berjalan jauh, ada yang berbincang panjang dengan sahabat, ada pula yang memilih diam seribu bahasa. Namun, ada satu cara yang sering luput dari perhatian: menulis.
Menulis bukan hanya tentang mencatat ide, menorehkan kata indah, atau menghasilkan karya yang bisa dipublikasikan. Menulis juga bisa menjadi sarana healing---sebuah jalan penyembuhan batin dan mental. Tulisan tidak hanya menyimpan kisah, tetapi juga bisa membersihkan jiwa dari debu yang melekat.
Seperti yang pernah dikatakan Anne Frank dalam The Diary of a Young Girl: "I can shake off everything as I write; my sorrows disappear, my courage is reborn." (Aku bisa melepaskan segalanya ketika menulis; kesedihanku hilang, keberanianku terlahir kembali). Kalimat ini membuktikan, menulis bukan sekadar aktivitas teknis, tetapi terapi jiwa.
Menulis dan Psikologi: Bukti Ilmiah Menyehatkan Mental
Tidak sedikit penelitian yang menunjukkan bahwa menulis memiliki dampak positif pada kesehatan mental. Salah satu penelitian penting datang dari James W. Pennebaker, profesor psikologi dari University of Texas. Dalam penelitiannya tentang expressive writing, ia menemukan bahwa menulis secara bebas tentang pengalaman emosional yang sulit dapat membantu mengurangi stres, memperkuat sistem imun, bahkan meningkatkan kualitas tidur.
Menurut Pennebaker, ketika seseorang menuliskan emosi dan pengalaman pahitnya, otaknya mulai mengatur ulang cara pandang terhadap peristiwa tersebut. Proses ini bukan hanya membantu melampiaskan beban, tetapi juga membuat individu lebih mampu menerima dan memahami makna dari pengalaman hidupnya.
Dalam sebuah artikel di American Psychological Association, dituliskan bahwa menulis tentang trauma bisa membantu seseorang mengurangi kecemasan dan depresi. Bahkan, menulis dapat memberikan efek yang serupa dengan konseling, meskipun tentu bukan pengganti profesional kesehatan mental. Artinya, menulis adalah jembatan yang sederhana namun efektif. Dengan secarik kertas dan pena, atau bahkan hanya layar gawai dan papan ketik, kita bisa menyehatkan diri sendiri.
Menulis Sebagai Cermin Jiwa
Menulis adalah cermin. Ketika kita menulis, kita sesungguhnya sedang bercakap-cakap dengan diri sendiri. Kata-kata yang keluar sering kali mencerminkan isi hati yang mungkin selama ini terpendam. Bayangkan seseorang yang sedang marah, lalu ia menuangkan emosinya dalam bentuk tulisan. Ia menulis tentang kekecewaan, luka, dan kemarahannya.
Setelah menulis, biasanya rasa marah itu berkurang. Mengapa? Karena tulisan menjadi wadah aman bagi emosi. Ia tidak melukai orang lain dengan kata-kata, tidak juga memendam perasaan yang bisa menjadi bom waktu.
Dalam psikologi, hal ini dikenal dengan catharsis---pelepasan emosi yang membawa kelegaan. Tulisan adalah ruang privat, tempat aman di mana tidak ada yang menghakimi. Kita boleh sejujur-jujurnya, boleh selemah-lemahnya, tanpa takut ditertawakan atau diremehkan.
Menulis Itu Wisata Intelektual
Selain menyembuhkan, menulis juga adalah sebuah perjalanan. Saya menyebutnya sebagai wisata intelektual. Mengapa? Karena emu a menulis, pikiran kita diajak jalan-jalan. Kita mengunjungi ingatan masa lalu, menyusuri emu a-lorong ide, menyeberangi jembatan gagasan, hingga menemukan hal-hal baru yang sebelumnya tak pernah kita sadari.
Setiap kata yang ditulis adalah emu ai kecil menuju pemahaman diri dan dunia. Menulis mengajak kita bertamasya di dalam kepala sendiri. Kadang kita menemukan kebahagiaan, kadang kita menemukan luka, kadang pula kita menemukan jawaban atas pertanyaan yang lama tak terjawab.
Bahkan, menulis bisa membawa kita berkelana jauh melampaui batas geografis. Dengan tulisan, kita bisa "pergi" ke Jepang, Arab, Amerika, atau bahkan ke dunia imajinasi yang belum pernah ada. emu aitu tanpa harus meninggalkan kursi tempat kita duduk.
Cara Menulis yang Mudah dan Menyentuh Hati
Banyak orang berkata, "Saya ingin menulis, tapi tidak tahu bagaimana memulainya." Sesungguhnya, menulis itu seperti bernapas. Yang dibutuhkan hanya keberanian untuk mengeluarkan isi kepala dan hati, tanpa terlalu sibuk memikirkan benar-salah atau indah-tidaknya kata.
Berikut beberapa langkah sederhana agar menulis bisa menjadi healing sekaligus menyentuh hati:
1. Tulis Apa Adanya
Jangan terlalu banyak aturan di awal. Tulis saja apa yang ada di pikiran. Kalau sedang sedih, tulis kesedihan itu. Kalau sedang bahagia, tulis kebahagiaan itu. Biarkan kata mengalir tanpa sensor.
2. Gunakan Bahasa Sehari-hari
Jangan memaksa menulis dengan bahasa yang kaku atau terlalu akademis. Gunakan bahasa yang kita pakai sehari-hari. Justru kesederhanaan bahasa membuat tulisan terasa tulus dan menyentuh.
3. Tulis Secara Rutin
Tidak harus panjang, tidak harus setiap hari. Tetapi usahakan konsisten. Seperti olahraga, menulis pun akan semakin terasa manfaatnya jika dilakukan secara teratur.
4. Fokus pada Perasaan
Menulis bukan hanya tentang menceritakan fakta. Sentuhan emosi membuat tulisan hidup. Saat menulis, coba jawab: Apa yang saya rasakan? Apa yang ingin saya lepaskan? Apa yang ingin saya syukuri?
5. Jangan Takut Hasilnya Jelek.
Ingat, tulisan pertama bukanlah untuk dinilai orang lain. Itu adalah hadiah untuk diri sendiri. Nanti, kalau mau diperbaiki atau dipublikasikan, bisa diedit. Tapi tahap awal, biarkan tulisan menjadi ruang ekspresi murni.
Menulis dan Spiritualitas
Menulis bukan hanya soal intelektual dan psikologis, tetapi juga bisa menjadi pengalaman spiritual. Banyak tokoh besar menuliskan doa, refleksi, atau renungan hidup mereka. Dengan menulis, seseorang bisa lebih dekat dengan dirinya sendiri dan bahkan dengan Tuhannya. Ketika kita menulis syukur, hati kita lebih lapang. Saat kita menulis doa, jiwa terasa lebih khusyuk. Menulis pun bisa menjadi bentuk meditasi, karena kita fokus penuh pada momen dan perasaan yang ada.
Seorang filsuf, Sren Kierkegaard, pernah mengatakan: "Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards." Hidup hanya bisa dipahami dengan menoleh ke belakang, tetapi harus dijalani ke depan. Menulis adalah cara terbaik untuk memahami masa lalu dan menyiapkan diri menghadapi masa depan.
Menulis sebagai Warisan
Selain bermanfaat bagi diri sendiri, menulis juga adalah hadiah untuk orang lain. Tulisan kita bisa menjadi warisan yang lebih abadi daripada harta benda.B ayangkan, berapa banyak pikiran besar yang kita kenal karena ditulis? Dari puisi Jalaluddin Rumi, esai Pramoedya Ananta Toer, sampai catatan harian B.J. Habibie---semuanya membuat kita belajar, terinspirasi, bahkan tersentuh meski penulisnya telah tiada.
Tulisan adalah cara sederhana untuk mengabadikan jejak hidup. Kita mungkin tidak bisa mengubah dunia dengan satu tulisan, tetapi siapa tahu tulisan kita bisa mengubah hati seseorang.
Ajakan: Mari Menulis, Mari Menyembuhkan
Kita hidup di zaman yang penuh tekanan. Media sosial penuh perbandingan, pekerjaan semakin menuntut, dan dunia makin cepat berubah. Tidak heran, banyak orang merasa lelah mental. Di tengah semua itu, menulis adalah oase. Ia tidak mahal, tidak butuh alat canggih, hanya butuh keberanian menuangkan isi hati. Dengan menulis, kita bisa healing, bisa menemukan ketenangan, bisa menjaga kewarasan.
Saya percaya, menulis bukan hanya milik penulis profesional. Menulis adalah hak semua orang. Setiap orang punya cerita, setiap cerita layak ditulis. Menulis tidak harus diterbitkan, tidak harus jadi buku. Yang penting, menulis membuat kita lebih sehat, lebih bahagia, lebih manusiawi.
Maka, izinkan saya menutup dengan sebuah pesan: Jangan tunggu sempurna untuk menulis. Mulailah menulis, karena tulisan adalah jalan menuju penyembuhan.
Penutup
Menulis adalah perjalanan panjang, sebuah wisata intelektual sekaligus terapi jiwa. Dari penelitian ilmiah hingga pengalaman personal, semuanya mengarah pada satu kesimpulan: writing is healing.
Jadi, mari kita rawat mental dengan menulis. Mari kita berwisata dengan kata-kata. Mari kita tinggalkan jejak dengan kalimat. Karena, pada akhirnya, menulis bukan hanya tentang tinta dan kertas, melainkan tentang hati dan jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI