Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menimbang Eksistensi Jabatan Widyaiswara di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan

10 Desember 2017   22:02 Diperbarui: 10 Desember 2017   22:03 4940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Widyaiswara (WI) yang berada di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) saat mayoritas sedang galau atau khawatir dengan posisinya saat ini. Hal ini sebagai konsekuensi ditempatkannya LPMP di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemdikbud, maka tupoksi LPMP (seolah) tidak memerlukan peran WI yang memiliki tugas pokok Pendidikan, Pengajaran, dan Pelatihan (Dikjartih).

Pasal 1 ayat (2) Permeneg PAN dan RB Nomor 22 tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya menyebutkan bahwa "Widyaiswara adalah PNS yang jabatan yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan mendidik, mengajar, dan/atau melatih Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang selanjutnya disingkat Dikjartih PNS, dan melakukan evaluasi dan pengembangan Pendidikan dan Pelatihan yang selanjutnya disingkat Diklat pada Lembaga Diklat Pemerintah.

Ayat (3) menyebutkan bahwa Widyaiswara adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk Dikjartih PNS, dan melakukan Evaluasi dan Pengembangan Diklat pada Lembaga Diklat Pemerintah.

Seiring dengan terbitnya Permendikbud Nomor 59 Tahun 2016, maka tupoksi LPMP pun mengalami perubahan menjadi fokus pada proses penjaminan mutu pendidikan untuk mencapai 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, mulai dari pemetaan mutu pendidikan satuan pendidikan, fasilitasi peningkatan mutu satuan pendidikan, supervisi satuan pendidikan, menganalisis hasil pemetaan mutu dan supervisi, menyusun laporan pemetaan mutu pendidikan dan supervisi, menyusun laporan hasil fasilitasi peningkatan mutu pendidikan, menyusun rekomendasi peningkatan mutu pendidikan kepada unit kerja dan instansi terkait, melaksanakan evaluasi penjaminan mutu pendidikan, dan menyebarluaskan data dan informasi mutu pendidikan kepada provinsi, kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan lainnya.

Mengacu kepada uraian tersebut di atas, WI LPMP harus menyesuaikan dengan tupoksi lembaga. Peran dikjartih yang awalnya dimiliki oleh WI LPMP, diserahkan kepada para WI yang berada di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemdikbud. WI LPMP dan PPPPTK yang sebelumnya berada dalam satu atap di bawah Ditjen PMPTK, lalu di bawah BPSDMPK dan PMP, kini terpaksa harus "bercerai."

Dengan kondisi saat ini, bisa dikatakan bahwa WI PPPPTK lebih beruntung karena tupoksi dikjartihnya tidak terganggu, malah makin dibuat semakin strategis, karena jutaan guru di Indonesia mutunya ditingkatkan oleh WI-WI PPPPTK yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan WI LPMP kini seperti terenggut dari dunianya, kehilangan pekerjaan utamanya memberikan dikjartih akibat perubahan tugas dan fungsi (tusi) LPMP. Walau demikian, muncul pertanyaan apakah WI-WI yang berada PPPPTK yang jumlahnya terbatas juga akan mampu memfasilitasi peningkatan mutu jutaan guru di Indonesia? Atau ujung-ujungnya meminta bantuan kepada WI LPMP atau memberdayakan instruktur-instruktur yang berasal dari guru yang notabenetugas utamanya adalah mengajar siswa?

WI-WI LPMP saat ini seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Walau demikian, bukan berarti menganggur. Mereka tetap sibuk melaksanakan tugas lembaga, tetapi memang lebih banyak kepada tugas-tugas yang bersifat administratif, melakukan bimtek atau monev, tapi kadang sulit atau bahkan tidak dapat dijadikan sebagai angka kredit karena sulit dicari padanannya pada DUPAK. Konsekuensinya, WI-WI LPMP sulit memenuhi Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan sulit naik pangkat.

Untuk "menyelamatkan" WI-WI LPMP, maka ditawarkanlah sedikitnya dua opsi. Pertama, pindah ke PPPPTK atau balai diklat di daerah. Kedua, berpindah menjadi jabatan fungsional baru yang relevan dengan tusi LPMP yang kemudian muncul nama jabatan fungsional Widyaprada. Jika WI-WI LPMP bersikeras ingin tetap pada jabatannya sebagai WI, maka konsekuensinya, maka mereka hanya diakui sebagai WI pertama dalam renumerasi ASN walaupun sudah golongan IV.

Mari kita bahas masing-masing opsi. Opsi pertama, yaitu pindah ke PPPPTK. Terlihat seperti solusi yang solutif dan sederhana, tetapi pada kenyataannya tidak sesederhana itu. Pindah unit kerja membawa sejumlah konsekuensi, antara lain; pertama, konsekuensi psikologis, harus menyesuaikan diri dengan tempat kerja baru yang sebenarnya dia sendiri belum tentu mau menempatinya, karena masih cinta dengan tempat kerja yang lama (LPMP). Dia pindah karena terpaksa supaya tetap dapat melaksanakan dikjartih.

Kedua, konsekuensi jarak. WI LPMP yang berpindah ke PPPPTK sangat mungkin dia harus pindah kota tempat bekerkja. Misalnya WI LPMP Jawa Barat dengan latar belakang pendidikan PPKn atau IPS, kalau pindah ke PPPPTK yang relevan, maka dia harus PPPPTK PPKn dan IPS di Batu Jawa Timur. Akibatnya dia harus berpisah dengan keluarga demi melaksanaan tugas di tempat baru. Ketiga, konsekuensi biaya. Pindah kerja di tempat baru, apalagi tempatnya jauh bahkan di luar provinsi menyebabkan dia memiliki "dua dapur", yaitu  dapur keluarganya dan dapur dia sendiri. Otomatis, beban biaya hidup juga bertambah.

Opsi kedua, berpindah menjadi Widyaprada. Widyaprada (WP) terdiri dari dua kata yaitu, "widya" yang artinya ilmu pengetahuan, pembelajaran dan "prada" yang artinya pemberi bantuan. Jadi secara sederhana dapat diartikan bahwa Widyaprada adalah pemberi bantuan layanan pendidikan. Adapun tugas utama WP sebagai berikut; (1) pemetaan mutu pendidikan, (2) supervise pendidikan, (3) pembimbingan satuan pendidikan, (4) pengembangan model penjaminan mutu pendidikan, (5) pengembangan model peningkatan mutu pendidikan. (Baedhowi, 2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun