Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menimbang Eksistensi Jabatan Widyaiswara di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan

10 Desember 2017   22:02 Diperbarui: 10 Desember 2017   22:03 4940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hal tersebut tentunya akan bertentangan dengan nurani sebagian besar WI yang memang telah menggeluti jabatan WI. Hal ini dapat berdampak terhadap menurunnya motivasi dan kinerja. Para WI mungkin akan lebih memilih mencari job di luar yang sesuai dengan bidangnya daripada mengerjakan pekerjaan yang sifat administratif dan itupun mirip tugasnya staf Seksi Pemetaan Mutu dan Supervisi (PMS).

Uraian tugas WP sudah disusun yang notabene juga melibatkan WI. Naskah akademik WP sampai tulisan ini dibuat baru sampai tahap uji pubik. Dari uraian tugas tersebut, dikjartih sebagai tupoksi utama WI hilang. Ketika tupoksi tersebut hilang, maka "keberadaan" WI di LPMP terancam. Tidak dapat dipungkiri, keengganan WI untuk berpindah dari WI ke WP disamping urusan profesionalisme, kompetensi, juga penjiwaan terhadap tugas. Selain itu, diakui atau tidak, WI tidak mau keluar dari zona nyaman. WI enggan untuk beradaptasi atau mempelajari sesuatu yang baru yang notabene bukan bidang atau minatnya. Orang dewasa baru mau belajar kalau dia butuh atau berminat terhadap ilmu atau keterampilan.

Selain dua opsi di atas, juga ada usulan agar para WI LPMP secara administratif dipindahkan ke PPPPTK dan LPPKS, tetapi dititipkan ke LPMP. Walau tentunya status sebagai pegawai titipan secara administrasi kepegawaian menjadi cukup merepotkan. Selain itu, status sebagai pegawai titipan, secara psikologis akan menyebabkan dia menjadi "tamu" di unit kerja yang dulunya menjadi rumahnya.

Bagi sebagian besar WI, mengubah WI menjadi WP adalah solusi yang terlalu menyederhanakan masalah dan mengorbankan WI. Untuk menjadi WI tidak mudah. Dia harus menempuh beberapa tahap seleksi, mulai dari seleksi administratif, seleksi internal (bagi LPMP yang melaksanakannya), wawancara, dan wajib lulus diklat Calon Widyaiswara yang melelahkan dan ketat, sehingga para calon WI memiliki kebanggaan tersendiri ketika lulus diklat Cawi dan mendapat SK sebagai WI.

Saya sendiri mengikuti Diklat Calon WI dari tanggal 30 September s.d. 1 November 2010 selama 320 JP bertempat di Pusdiklat Pegawai Kemdiknas Sawangan, dan diangkat menjadi WI TMT 1 Mei 2011. Saya tidak tahu berapa jumlah riil WI di seluruh Indonesia, tetapi diperkirakan mencapai 800 orang.

Dalam ketidakpastian masa depan karirnya sebagai konsekuensi perubahan tusi LPMP, WI seolah dipaksa (walau istilahnya boleh memilih) menjadi Widyaprada, sebuah jabatan baru yang belum tentu sesuai dengan minat dan nuraninya, karena ruh mengajar telah bersemayam sekian belas tahun atau sekian puluh tahun dalam dirinya. Bahkan ada guru dan kepala sekolah yang berpindah menjadi WI karena ingin meningkatkan karirnya.

Ini memang dilematis. Secara normatif, WI LPMP memang boleh bertahan sebagai WI, tapi konsekuensinya, karirnya sulit berkembang. Dia seperti "orang asing" di rumah sendiri. Sedangkan menjadi WP, dia akan kehilangan tupoksi utamanya yaitu Dikjartih, sebuah pekerjaan yang dinikmati dan dijalaninya selama bertahun-tahun.

Ada hal yang menggelitik dalam benak saya. Mengapa keberadaan WI di LPMP baru dipersoalkan baru-baru ini? Sedangkan WI sudah ada sejak zaman Balai Pelatihan Guru (BPG) yang kemudian berubah menjadi LPMP tahun 2003. Pasca berdirinya LPMP pun, ada rekruitmen WI secara besar-besaran, termasuk saya sendiri yang diangkat WI pada tahun 2011. 

Lalu tiba-tiba sekarang pemegang kebijakan di Kemdikbud mengatakan bahwa keberadaan WI di LPMP tidak diperlukan karena tidak sesuai dengan tusinya. Hal ini tentunya sangat mengagetkan, karena mengapa dulu banyak dibuka rekruitmen WI di LPMP kalau tidak sesuai dengan tusi utama LPMP yang sejak berdiri tidak berubah, yaitu memfasilitasi, memetakan, mensupervisi, menyusun dan menyajikan data dan informasi mutu pendidikan?

Jangan sampai WI-WI LPMP merasa jadi "korban" kebijakan pemerintah. Mereka tersingkir secara tidak langsung dengan alasan keberadaannya tidak sesuai dengan tusi LPMP. Perlu ada solusi bijak untuk tetap mengakomodir keberadaan WI di LPMP. Antara lain menambah tusi LPMP menjadi lembaga yang juga menyelenggarakan dikjartih kepada guru. Fungsi FASILITASI menurut saya bisa menjadi dasar bagi LPMP untuk menyelenggarakan dikjartih bagi pendidik  dan tenaga kependidikan. Bukankah salah satu SNP yang wajib dijamin oleh LPMP adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan?

De facto, LPMP sebenarnya telah menyiasati larangan melarangan dikjartih dengan kata Bimbingan Teknis (Bimtek) dimana para WI dapat mengajar dan mendapatkan AK. Selian itu, ada juga yang menjadi narasumber di kegiatan KKG/MGMP, satuan pendidikan lain untuk mendapatkan AK. Kalau tidak demikian, dari mana mereka dapat AK? Jangan sampai WI-WI "mati di lumbung padi" karena di satu sisi program LPMP banyak tetapi di sisi lain tidak mampu mendukung peningkatan karirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun