Mohon tunggu...
Mas Idi
Mas Idi Mohon Tunggu... Pengelantur

Pencinta Mitologi, Mistisme, hingga demonology, menulis hanya sekedar hiburan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

The Lost Essence of Fantasy

7 Maret 2024   16:39 Diperbarui: 20 Maret 2024   00:03 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lloyd Alexander (speculativefiction.fandom.com)

Ketika kita memposisikan sebagai subjek, cobalah ikuti logika dunia tersebut, jadi penulis bukan hanya membuat melainkan harus ikut serta ke logika atau inner logic dunia tersebut, hal ini dilakukan penulis untuk melihat sebuah kecacatan seperti quote di atas "Happenings should have logical implications. Details should be tested for consistency. Shall animals speak? If so, do all animals speak? If not, then which --- and how? Above all, why? Is it essential to the story, or lamely cute? Are there enchantments? How powerful? If an enchanter can perform such-and-such, can he not also do so-and-so?" 

Bila penulis memposisikan sebagai Tuhan, maka ia tidak menyadari kecacatan dunianya sendiri, karena mereka menganggap dunia mereka sempurna. Seperti buku dari Jorge Luis Borges, "The Circular Ruins," seorang pria bermimpi menciptakan makhluk yang sempurna, hanya untuk menyadari bahwa dia sendiri adalah produk dari mimpi orang lain. Logika rekursif ini menimbulkan pertanyaan tentang sifat identitas dan eksistensi. Cobalah ajak ngopi karaktermu sendiri, suruh karaktermu curhat ke dirimu, hal ini mungkin bisa membantu.

Genre fantasi merupakan sebuah cermin bagi manusia, karena di genre ini kita bisa bercermin melalui penggambaran lain. Cerita-cerita mitos, legenda, dan kuno merupakan bukti sebuah cermin dari peradaban masyarakat kala itu, atau dari perilaku masyarakat kala itu. Lalu cermin apa yang kau bisa gambarkan dari masyarakat modern ini di dunia fantasi?

"Good fantasy actually tells the truth about life. It clarifies the human condition and captures the essence of our deepest emotions, dreams, hopes, and fears. If fantasy does not do these things, it fails.".

Seperti kata bang Lloyd Alexander, "Fantasy is hardly an escape from reality. It's a way of understanding it.". dan "And, as in all literature, characters are what ultimately count. The writer of fantasy may have a slight edge on the realistic novelist, who must present his characters within the confines of actuality. Fantasy, too, uses homely detail, but at the same time goes right to the core of a character, to extract the essence, the very taste of an individual personality. This may be one of the things that makes good fantasy so convincing. The essence is poetic truth."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun