Metafora immortality juga bisa kita kuak, menurut Daoism, The Dao, or the Way, is the approach in accordance with the flow of Nature. Akan tetapi, para immortals ini justru berjalan tidak sesuai Dao, atau justru sebaliknya, untuk menjadi immortal harus mengikuti Flow Dao.Â
Ini juga bisa menjadi sebuah simbol mengenai Flow, orang-orang seringkali mengartikan Flow sebagai ikut-ikutan menimbulkan tidak berkembangnya otak manusia di dunia fiksi tersebut, mereka hanya ikut-ikutan para immortals ini tanpa mencari jalan lain. Padahal Flow ini lebih dalam artinya, yang di mana sebagai makhluk, kita harus mengetahui baik dan jahat serta berpikir krusial, bukan hanya sekedar ikut-ikut.
Apalagi sekarang banyak sekali cerita fantasi yang kurang akan symbolisme atau metafora, sehingga memang betul ketika anime Freiren dikatakan membangkitkan genre fantasi di dunia anime, karena Freiren menceritakan betul arti makna fantasi.
Lalu bagaimana kita bisa menciptakan sebuah metafora ini? Keluar dan amati masyarakat di sekitarmu! Bukan hanya itu, seperti quote awal di atas dari Lloyd Alexander, "Once committed to his imaginary kingdom, the writer is not a monarch but a subject...".Â
Beberapa orang berkata, penulis itu Tuhan dunia cerita mereka. Posisi penulis sebagai Tuhan di dunia mereka, ketika penulis tersebut merancang atau mendesain dunianya. Ketika penulis sudah terjun ke cerita dan dunianya sudah kongkrit dibuat, maka posisikan penulis sebagai subjek atau karakter di dalam cerita tersebut. Bila penulis memposisikan terus menjadi Tuhan atau Monarki, maka penulis ini akan kehilangan perspektif kehidupan di dunia tersebut. Kata dari Lloyd Alexander tersebut sangatlah kuat, jadilah penulis jangan sebagai Tuhan atau Monarkinya, melainkan sebuah subjek di dalam cerita tersebut.
Ketika kita menjadi subjek, maka kita akan mendapatkan perspektif kehidupan yang sesungguhnya. Contohnya bila ada sebuah kejadian terjadi atau fenomena terjadi, penulis yang memposisikan dirinya sebagai subjek akan bertanya Apa yang dirasakan karakter ini? Apa ya dampak dari fenomena ini? Sama halnya agan melihat kecelakaan di jalan. Bila penulisnya menjadi Tuhan, yang ia pikirkan ialah adegan selanjutnya dari fenomena tersebut.
"Aku gak suka karakter ini, akan kulenyapkan di chapter berikutnya."
Penulis juga tidak bisa semata-mata menghilangkan satu karakter dengan sesuka hati. Well, technically, they can. Akan tetapi, dalam menulis ada sebuah batasan yang membuat penulis tidak bisa sesuka hatinya menghilangkan satu karakter.Â
Hal ini apa, narasi dan alam bawah sadar yang memandu karakter dan cerita, sehingga penulis tidak mempunyai kendali atas apakah karakter tersebut mati. Kita bisa lihat novel Misery karya Stephen King, karakter fiksi Paul Sheldon seorang author Misery Chastain tidak suka menulis buku tersebut, jadi ia membuat ending yang sesuai inner logic dan mendukung quote dari Lloyd Alexander di atas.Â
Dalam novelnya Misery Chastain, Paul membuat ending di mana karakter utamanya, Misery, meninggal saat melahirkan anak pertamanya. Hal ini Paul yakini akan membebaskan dirinya dari karakter tersebut dan memungkinkan untuk mengejar ide-ide penulisan lainnya.
Lalu pertanyaanya, kenapa ia tidak melakukan atau membuat karakter Misery ini mati jauh-jauh hari bila ia tidak suka menulis novel tersebut dan karakternya? Karena batasan tadi, narasi dari novel tersebut dan alam bawah sadar Paul memandu karakter dan cerita yang dibuat Paul, meskipun ia sangat tidak suka menulis novel tersebut, bukan Paul secara sadar ia merupakan Tuhan dari cerita tersebut. Dunia ceritamu memiliki system kerja sendiri, layaknya dunia nyata. Tuhan tidak langsung mengintervensi atau membantu secara tiba-tiba kepada kita, ada namanya suatu proses, yang kendalinya ada di diri kita sendiri, kita ingin berubah maka kita sendiri yang harus bergerak. Oleh karena itu, karakter dalam ceritamu memiliki kesadaran sendiri, membuat posisi penulis sebagai Tuhan dalam mengeksplor cerita akan berbeda.