Mohon tunggu...
Edi Suwandi
Edi Suwandi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir Tak ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar... ...... Bahagia itu Sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Soleh Sekolah

1 Januari 2013   06:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:42 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1357023504559245841

[caption id="attachment_232725" align="alignnone" width="400" caption="http://jogja.antaranews.com/berita/300726/rsbi-jangan-lahirkan-siswa-priyayi"][/caption] Siang itu Soleh menyandarkan tubuhnya ke tiang di selasar sekolah itu dengan melasnya menatap Papan pengumuman, Ia berharap seraya berdoa semoga diterima di Sekolah Kejuruan Negeri itu dengan begitu setelah lulus dia berharap akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, sementara Ayahnya termangu cemas membelakangi Soleh sembari terus menunggu Pengumuman Daftar terbaru siswa yang diterima, “Pak, tinggal satu jam lagi tapi namaku belum ada juga Daftar itu,” keluh Soleh, “sabar le, ditunggu aja dulu,” hibur Ayahnya, Apa daya hari itu sangat menentukan bagi Soleh, hari terakhir pendaftaran siswa baru di Sekolah Kejuruan Negeri, satu-satunya di kotanya dan disitulah batas kemampuan ayahnya tuk menyekolahkannya, Soleh sudah tak tahan lagi akan hasratnya tuk duduk di bangku sekolah lagi, meski nilai akhirnya berkebalikan dengan gairahnya tuk sekolah. Tahun lalu tepat saat Soleh baru saja tiba dari pekerjaannya mencari rumput di masa liburan sekolah, dia menemui Ayah dan Ibunya yang sedang duduk di dapurnya yang berlantaikan tanah, murung, menunduk seakan tak kuasa tuk melihat wajah anaknya yang baru berpeluh keringat baru saja datang dari sawah, “le, kamu kesini sebentar!” Ayahnya memanggil “begini le, kebetulan kan adik-adikmu mau masuk SMP dan Kakakmu juga tinggal setahun lagi sekolahnya, eee….. ee….. ” Ayah Soleh berat “Kenapa Pak?” Soleh penasaran Ayahnya terdiam sejenak, “sekolahmu berhenti dulu ya, tahun depan dilanjutkan lagi, sekarang Bapak ndak kuat membiayai kalian semua bareng-bareng” “Pak, masak aku ndak sekolah sih?” Soleh mulai berkaca-kaca “kan aku pengen sekolah pak! ntar gimana kata teman-teman? . . . trus aku mau jadi apa?” dia tambah tersedu-sedu Ibu Soleh yang dari tadi menunduk terdiam pun tak kuasa meneteskan air mata, beliau memakai bajunya yang lusuh tuk membasuh pipinya “Maaf le ya, bapak sungguh ndak kuat, tolong kamu ngertiin bapak, untuk sementara kamu bantuin bapak di sawah ya!”, Ayah Soleh merasa bersalah Soleh berlari meninggalkan kedua orang tuanya, dia menuju ke tempat Pohon Trembesi lebat dan rindang yang tumbuh di tengah persawahan, dia berbaring memikirkan keadannya, berkecamuk antara hasrat sekolahnya dan kondisi orang tuanya yang kurang mampu, anak kecil yang terpaksa ikut menanggung beban keluarga. Semenjak saat itu Soleh pun hanya disibukkan dengan membantu Bapaknya di sawah, mencari rumput, menanam padi, dan sebagainya, mengumpulkan biaya tuk dirinya sekolah di tahun depan. Seseorang Guru pun datang membawa selembar kertas daftar nama-nama terbaru siswa yang diterima di sekolah itu setelah 15 menit lewat mennggu dan menempelkannya di papan, seketika Ayah Soleh pun mendekat tuk melihat nama anaknya, dan benar saja nama anaknya muncul di daftar, namun bukan di daftar siswa yang diterima melainkan tabel kedua, diluar tabel pertama yang berisikan ratusan nama siswa yang diterima, tabel kedua ini berisikan tiga nama yang merupakan daftar  ‘cadangan’, logikannya ada satu anak saja yang mendaftar lagi dengan nilai yang bagus otomatis akan merubah lagi daftar susunan siswa yang diterima dan otomatis pula akan menggeser posisi Soleh di daftar ‘cadangan’. “Masuk le!!” teriak Ayahnya “dimana Pak?” Soleh beranjak “paling bawah” Ayahnya menunjuk dengan lemas “Muhammad Soleh”, dia membaca nama paling bawah di daftar cadangan itu “hufft, ditunggu aja pak” Soleh berkeras, “Iya le“, ayahnya menimpali Soleh masih sangat berharap diterima di Sekolah Kejuruan Negeri satu-satunya itu, dengan harapan bahwa selulusnya sekolah dia akan mudah memperoleh pekerjaan yang lebih baik sebagaimana lazimnya kebanyakan lulusan Sekolah Kejuruan Negeri itu, tapi mengingat keadannya sekarang tampaknya ia harus memikirkan ulang rencananya. Wajar saja, dengan nilai ujian akhir yang pas-pasan dari SMP Negeri pinggiran yang terkenal akan kemampuan bersaing siswa-siswanya yang lemah sudah cukup membuatnya minder. Tapi Soleh telah meyakinkan Ayahnya beberapa waktu yang lalu bahwa sekolah dimanapun tak masalah baginya tapi setidaknya ia telah berusaha untuk mendaftar di Sekolah yang terbaik, *** Tepat pukul 14:00 WIB pendaftaran pun telah ditutup dan Soleh belum beranjak dari tempatnya semula, masih dengan wajah melasnya "le, kalo nggak keterima disini ndak apa kan?" Ayah Soleh mencoba membesarkan hati anaknya "ndak apa Pak, kalo ndak keterima disini aku ikhlas, yang penting sudah usaha maksimal, dan yang terpenting Bapak mendukung sekolahku", pandangan Soleh belum beranjak, dan ayahnya pun tersenyum. "le! itu lihat bapaknya yang nempelin pengumuman tadi sudah balik lagi", Ayahnya menunjuk Guru yang tadi sekaligus beranjak mendekat ke papan diikuti Soleh dan belasan Calon siswa beserta orang tuanya yang menunggu pengumuman terakhir, "Minggir sebentar pak saya ndak bisa nempelin daftarnya lho!" sergah Pak Guru menerobos kerumunan, "Pak! namaku ada! namaku ada!" Soleh histeris sambil menarik-narik baju ayahnya "mana le! mana!" Ayahnya pun penasaran "itu nomor dua dari bawah", Soleh menunjukkan pada ayahnya, rupanya banyak anak-anak yang posisinya teraamat genting di urutan terbawah gelisah takut tergeser dan mereka mencabut berkasnya dan mendaftar di SMA-SMA lain yang lebih mudah dan akhirnya Soleh yang sebelumnya di daftar 'cadangan' masuk mengisi posisi yang ditinggalkan di daftar siswa yang diterima "aku masuk pak! . . aku masuk! . . pak . .!" "aku akhirnya sekolah!" sembari sesenggukan Soleh pun berlinang air mata, dia memeluk ayahnya, ayahnya mendekapnya, soleh menenggelamkan wajahnya dalam dekapan ayahnya, dan ayahnya pun mengusap rambut anaknya, "Alhamdulillah Gusti, Alhamdulillah anakku bisa sekolah lagi bahkan di sekolah yang dia idam-idamkan" Ayahnya lirih "Sekolah yang rajin ya le, sekolah-lah yang rajin!" "doaku dan ibumu akan slalu menyertaimu", Ayahnya emberi nasehat, akhirnya Soleh Sekolah. - le > panggilan kepada anak laki-laki dapam bahasa jawa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun