Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Sibuk Mengajar Tapi Lupa Mendengarkan

30 Agustus 2025   05:10 Diperbarui: 30 Agustus 2025   05:10 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Ivan Aleksic di Unsplash 


Artikel reflektif tentang sistem pendidikan yang terlalu fokus pada kurikulum tetapi mengabaikan suara murid. Kritik humanis untuk membangun ruang belajar yang partisipatif, dialogis, dan berbasis kemanusiaan.

Pendidikan seharusnya menjadi cahaya yang menuntun manusia menemukan dirinya. Namun yang sering kita jumpai justru kebisingan kelas tanpa ruang untuk suara murid. Sekolah mengajarkan banyak hal, tetapi lupa memberi ruang untuk mendengarkan. Artikel ini mencoba mengajak kita merenungkan kembali, apakah sekolah masih menjadi rumah bagi kemanusiaan, atau hanya mesin yang mengukur angka dan nilai.

Sekolah sering disebut sebagai rumah kedua. Tempat anak-anak bertumbuh, belajar, dan membentuk jati diri. Namun, dalam kenyataan, rumah kedua itu kerap terasa asing. Suara anak-anak yang seharusnya menjadi pusat justru tenggelam dalam deru kurikulum, aturan, dan standar keberhasilan yang kaku. Sekolah mengajar, tetapi lupa mendengarkan.

Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan kita dibangun dengan pendekatan top down. Guru menjadi pusat pengetahuan, murid menjadi wadah kosong yang harus diisi. Kurikulum disusun seperti peta jalan tunggal, seolah semua anak harus berjalan di jalur yang sama, dengan kecepatan yang sama, menuju tujuan yang sama.

Namun, apakah anak-anak sungguh seperti mesin produksi? Apakah mereka hanya butuh diisi dengan rumus, definisi, dan hafalan tanpa diberi ruang untuk bertanya, berimajinasi, dan mengkritisi?

Dalam suasana ini, murid menjadi penerima pasif. Mereka hadir di kelas, duduk, mencatat, lalu diuji. Pendidikan pun kehilangan ruhnya sebagai dialog, dan berubah menjadi monolog panjang yang melelahkan.

Sekolah seharusnya menjadi ekosistem belajar. Sebuah ruang tumbuh yang memberi kesempatan bagi murid untuk menemukan diri. Sayangnya, yang lebih sering tampak adalah ruang ujian. Segalanya diukur dengan angka, bukan dengan pengalaman batin.

Padahal, pendidikan bukan hanya tentang transfer knowledge. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses kemanusiaan. Ia seharusnya membantu murid memahami dirinya, lingkungannya, dan makna dari setiap proses hidup yang dijalani. Namun ketika kurikulum hanya berorientasi pada hasil ujian, yang lahir bukan manusia merdeka, melainkan manusia robot. Mereka bergerak ketika ada instruksi, namun kehilangan keberanian untuk mengambil inisiatif.

Ada kenyataan lain yang tak bisa diabaikan, yaitu banyak lembaga pendidikan kini bergerak dengan orientasi bisnis. Sekolah dipandang sebagai komoditas, murid menjadi pelanggan, dan prestasi diubah menjadi angka penjualan. Akibatnya, tujuan hakiki pendidikan terlupakan.

Alih-alih menemukan talenta murid, sekolah lebih sibuk menonjolkan citra institusi. Alih-alih menumbuhkan kemanusiaan, sekolah justru melatih persaingan semu. Murid tidak lagi diajak bertanya: apa yang membuatmu hidup, apa yang membuatmu ingin belajar. Sebaliknya, mereka hanya dituntut: berapa nilai rapormu, sudahkah kau siap menghadapi ujian nasional, sudahkah kau cocok dengan standar ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun