Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terang yang Menyembunyikan Luka Terdalam Warganya

19 Agustus 2025   21:42 Diperbarui: 19 Agustus 2025   21:42 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Vlad ION di Unsplash 

Artikel reflektif tentang kontras antara pusat kota yang gemerlap dengan sudut-sudut gelap yang terlupakan. Menggugat ketidakmerataan pembangunan dan menghadirkan pertanyaan batin tentang keadilan sosial.

Setiap kota memiliki dua wajah. Satu wajah dipoles rapi untuk dipamerkan kepada dunia, sementara wajah lainnya disembunyikan rapat di balik tembok bayangan. Di pusat kota, lampu-lampu menyala terang, menandai keberhasilan pembangunan. Namun di sudut lain, ada kehidupan yang berjalan tanpa sorot cahaya. Mereka yang tinggal di sana hidup dalam keterbatasan, seolah menjadi bagian dari kota yang sengaja dilupakan. Prolog ini mengajak pembaca untuk menyelami kontras itu, untuk melihat kota bukan hanya dari kilau cahaya, tetapi juga dari gelap yang ditinggalkan.

Di setiap denyut kota, cahaya selalu menjadi lambang kemajuan. Gedung-gedung menjulang tinggi, jalan-jalan dipenuhi lampu yang menyala sepanjang malam, kafe dan pusat perbelanjaan seakan tak pernah tidur. Dari kejauhan, kota tampak seperti permata yang berkilau di atas permukaan bumi. Namun, di balik gemerlap itu, ada sudut-sudut yang selalu gelap. Sudut yang tidak masuk dalam brosur pariwisata, tidak terpampang dalam baliho kebanggaan pembangunan, dan tidak menjadi latar swafoto generasi yang haus pencitraan.

Cahaya dan bayangan adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Sama seperti siang dan malam yang beriringan, kota pun hidup dengan lapisan yang berlawanan: pusat yang terang dan pinggiran yang muram. Dalam lapisan itulah kita menemukan ironi, di mana sebagian orang menikmati fasilitas kota dengan lega, sementara sebagian lain hidup dalam retakan yang tak pernah terjamah cahaya.

Kota selalu tumbuh ke atas, tetapi jarang menoleh ke bawah. Jalan protokol diperindah, taman kota dihias dengan lampu warna-warni, trotoar dipoles untuk menambah kesan ramah pejalan kaki. Namun hanya beberapa kilometer dari pusat, jalan tanah berlubang masih menjadi rute harian. Atap seng bocor masih menampung air hujan. Anak-anak bermain di lorong sempit yang lembap dan bau, jauh dari kemewahan mal yang berdiri kokoh tidak begitu jauh dari tempat mereka.

Ambil contoh Jakarta. Di satu sisi, kawasan Sudirman--Thamrin memamerkan gedung pencakar langit, transportasi modern, dan lampu yang nyaris tak pernah padam. Namun hanya berjarak 15--20 menit perjalanan, ada kampung-kampung padat seperti di Tanah Abang atau Muara Baru, di mana rumah-rumah berdiri rapat tanpa ventilasi layak, saluran air tersumbat, dan listrik sering padam. Kontras ini bukan sekadar visual, tetapi juga cerminan denyut kota yang tidak pernah merata.

Denyut kota, dengan segala ritmenya, ternyata tak bergetar sama di setiap sudut. Ada kawasan yang hidup dengan kecepatan tinggi, seolah hari-harinya tak cukup menampung segala aktivitas. Tetapi ada pula kawasan yang berdenyut lirih, nyaris tak terdengar, seperti suara yang hilang ditelan kebisingan mesin.

Ironinya, cahaya yang dipamerkan justru sering membutakan. Pusat kota yang terang benderang seakan menutupi mata kita dari bayangan yang bersembunyi. Orang-orang yang hidup di dalam gemerlap lupa bahwa ada tetangga mereka yang setiap malam tidur dengan rasa cemas akan besok hari. Bahwa ada yang harus memilih antara membeli makanan atau membayar sewa kamar kontrakan.

Survei BPS beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa angka kemiskinan di perkotaan tetap berada di kisaran 7--8 persen. Di balik lampu kota yang menyala sepanjang malam, ada ribuan keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka bukan sekadar statistik, tetapi wajah-wajah yang nyata: pedagang asongan yang pulang dengan dagangan tersisa, tukang becak yang kini kalah dengan transportasi daring, hingga pekerja lepas yang tidak punya jaminan penghasilan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah sebuah kota dapat disebut maju jika tidak semua lapisan merasakannya? Apakah cahaya pantas disebut terang bila masih menyisakan begitu banyak sudut yang gelap?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun