Salah satu film yang berkesan bagi saya adalah "Tape" [2001] dari salah satu sutradara favorit saya, Richard Linklater. Buat saya menarik sekali bagaimana membuat film dengan hanya menghadirkan 2 pemain di 1 ruangan namun sama sekali tak membosankan.
Maka saya membuat kisah cinta pahit-manis berjudul "The Dinner". Awalnya berupa kisah mantan pasangan suami istri yang selalu bertemu di malam Valentine demi mengenang kisah cinta mereka. Oleh Alim Sudio, cerita tersebut di-twist sedemikian rupa dan berubah judulnya menjadi "The Dessert".
Di proyek ini, saya beruntung bekerjasama dengan pasangan Prabu Revolusi dan Zee Zee Shahab. Sedari awal keduanya bersedia bergabung karena ketertarikan mereka pada ceritanya yang unik. Semacam "talkie movie" namun somehow bisa demikian filosofis.
Dengan proyek seperti ini, saya selalu merasa beruntung jika bertemu dengan pemain yang tetap mengedepankan profesionalisme. Prabu dan Zee Zee menjadwalkan pertemuan sebanyak 3 kali dimana kami membahas skenario, melakukan pendalaman karakter dan lainnya. Karena keduanya memang adalah pasangan di dunia nyata, saya tak susah untuk menyatukan mereka. Namun karena dialog di film ini panjang-panjang, saya sempat khawatir terutama karena Prabu belum punya cukup jam terbang. Tapi saya salah, Prabu justru mengejutkan kami ketika syuting dilakukan dan melahap adegan-adegan sulit dengan mudah.
"The Dessert" bisa ditonton di YouTube Channel Indonesia Sinema Persada.
4. ASYA STORY
Ini adalah miniseri pertama yang saya sutradarai yang diadaptasi dari novel. Semua karya saya sebelumnya berasal dari ide cerita saya sendiri. Meski ketika membaca novelnya, Asya Story terkesan ringan, namun saya menangkap tema yang bisa saya kulik di miniserinya yaitu tentang kekerasan seksual.
Dan soal kekerasan seksual inilah yang akhirnya membuat miniseri "Asya Story" cukup menyita perhatian saat beredar di layanan streaming di saat awal pandemi tahun 2020. Â Saya cukup berhati-hati mempersiapkan proyek ini karena saya merasa sebagai laki-laki, saya berada di kutub berlawanan dengan apa yang dibicarakan di miniseri ini. Saya perlu berempati lebih kepada korban, karenanya saya membaca banyak literatur, wawancara dengan para penyintas dan mendengarkan bagaimana mereka berkeluh kesah.
Dan salah satu adegan paling sulit divisualkan di miniseri ini ketika Alex memperkosa Asya secara brutal. Sebelumnya Brigitta Chyntia [pemeran Asya] dan Sani Fahreza [pemeran Alex] sudah melatih koreografi adegan ini sebelumnya. Namun tetap saja kegugupan kami rasakan, terlebih ketika melihat totalitas yang diberikan oleh Gigi.
Adegan perkosaan ini juga menjadi penyebab investor yang pada awalnya bersedia mendanai proyek ini mundur. Saya tak berkompromi dengan aspek artistik sebuah proyek dan berprinsip bahwa miniseri tentang kekerasan seksual justru harus memperlihatkan kebrutalan adegan perkosaan agar para penonton membenci perlakuan tersebut dan mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Martin Scorsese selalu menyajikan kekerasan yang banal di karya-karyanya justru dengan maksud agar kita membenci kekerasan tersebut terjadi di kehidupan sehari-hari.