Mohon tunggu...
Moch IchwanPersada
Moch IchwanPersada Mohon Tunggu... Seniman - Sutradara/Produser Film/Pernah Bekerja sebagai Dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Produser film sejak tahun 2011. Sudah memproduseri 9 film panjang termasuk nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2012, Cerita Dari Tapal Batas. Menjadi sutradara sejak 2019 dan sudah menyutradarai 5 serial/miniseri dan 5 film pendek. Mendirikan rumah kreatif Indonesia Sinema Persada dan bergiat melakukan regenerasi pekerja film dengan fokus saat ini pada penulisan skenario.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

7 Film/Serial/Miniseri yang Pernah Saya Buat dan Cerita-Cerita Seru di Baliknya

3 Januari 2023   16:15 Diperbarui: 3 Januari 2023   16:17 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

7 Film/Serial/Miniseri Yang Pernah Saya Buat dan Cerita-Cerita Seru Di Baliknya 

Saya memutuskan menjajal karir baru sebagai sutradara di usia 40 tahun. Setelah saya memproduseri 9 film panjang termasuk nomine Film Dokumenter Terbaik Festival Film Indonesia 2012, "Cerita Dari Tapal Batas".

Menjajal karir baru di usia 40 bukan hal mudah. Saya mesti belajar lagi, mesti banyak baca buku teknis penyutradaraan, sinematografi hingga soal artistik, menonton ulang film-film bagus dari seluruh dunia dan mengkajinya dari perspektif penyutradaraan.

Tapi saya bersyukur punya kesempatan menjadi sutradara. Bersyukur memiliki kesempatan untuk bercerita kepada publik melalui medium film/serial/miniseri. Dan saya bersyukur karena selalu bisa memilih proyek-proyek yang ingin saya kerjakan.

Di tulisan ini saya akan berbagi cerita-cerita seputar 7 film/serial/miniseri yang pernah saya buat. Tentu saja banyak keseruan dan cerita-cerita menarik di balik pembuatannya.

1. CERITA DOKTER CINTA

Ini adalah serial pertama yang saya sutradarai. Diproduksi di awal 2019 dan tayang pertengahan tahun itu juga. Waktu itu belum banyak rumah produksi yang merambah ke layanan streaming.

"Cerita Dokter Cinta" ditulis berdasar ide cerita saya. Betul, saya memang mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Saya merasa pengalaman tersebut menarik untuk dibagikan ke penonton dan memang belum banyak serial/miniseri lokal berlatar medis yang digarap serius.

Di serial ini, saya berkesempatan men-direct bintang-bintang ternama seperti Deva Mahendra, Prilly Latuconsina, Kemal Palevi, Zee Zee Shahab hingga Indah Kusuma. Khusus dengan Prilly, ini adalah kerjasama kedua saya. Sebelumnya Prilly main film pertama kali di "La Tahzan" [2013] dimana saya ikut menjadi salah satu produsernya.

Membuat serial berlatar medis di Indonesia tak mudah. Kita tak punya studio dengan set rumah sakit yang cukup memadai. Karenanya mau tak mau kami harus syuting di rumah sakit aktif. Ada cerita lucu ketika kami harus mengambil adegan di IGD. Dan seperti rumah sakit aktif pada umumnya, IGD tak boleh ditutup hanya untuk kepentingan syuting. Pada saat syuting, rupanya ada pasien kecelakaan motor masuk IGD. Kami pun bertoleransi dalam jadwal pengambilan gambar. Ketika si pasien tengah dirawat dan berteriak-teriak kesakitan, kami tak mengambil gambar. Barulah setelah perawatannya selesai, pengambilan gambar dilanjutkan.

Karena serial medis sangat teknis maka cukup banyak waktu yang harus kami perlukan. Karenanya jadwal syuting pun melebihi 12 jam sehari. Sesungguhnya tak sehat namun untunglah kami bertemu dengan pemain seperti Deva dan Prilly yang selalu membuat syuting penuh tawa meski saya sudah mengantuk di kursi sutradara di pukul 4 pagi.

Serial "Cerita Dokter Cinta" bisa ditonton di Maxstream.

2. HARI KE 40

Ini adalah film pendek pertama yang saya sutradarai. Tentu saja saya gugup sebelum hari syuting dilakukan. Untungnya memang karena saya dikelilingi crew yang terbiasa bekerjasama dengan saya. Jadinya tak terlalu canggung.

Di film ini, saya kembali bekerjasama dengan Muhary Wahyu Nurba, seniman dari Makassar. Saya mengenal beliau lebih dari 20 tahun lalu saat saya mulai menulis resensi film di Harian Fajar Makassar saat masih kuliah. Kami memiliki kegilaan yang sama pada film-film bagus dari seluruh dunia dan sering bertukar cerita karenanya. Sebelumnya saya bekerjasama dengan Muhary di film "SILARIANG: Cinta Yang [Tak] Direstui" yang saya produseri.

Ada cerita menarik di balik kisah "Hari Ke 40". Skenarionya ditulis Alim Sudio yang baru saja sukses dengan "Miracle in Cell No 7" dan "Sayap-Sayap Patah". Cerita "Hari Ke 40" berasal dari apa yang saya alami.

Suatu kali ayah dari partner saya di rumah kreatif Indonesia Sinema Persada, Irfan Syam, meninggal dunia. Meski di tengah persiapan produksi serial "Cerita Dokter Cinta", saya memutuskan untuk menemani Irfan bertolak ke kampung halamannya di Palopo, Sulawesi Selatan. Saya menginap di rumahnya selama 3 hari.

Anehnya selama 3 hari di sana, setiap subuh saya selalu "bertemu" ayahnya. Saya baru menceritakan soal ini kepada Irfan setelah 40 hari meninggalnya almarhum. Irfan bilang bahwa saya memang tidur di kamar ayahnya, jadinya terasa wajar jika saya "didatangi" almarhum selama 3 hari berturut-turut.

Pengalaman supranatural itupun saya tuangkan di "Hari Ke-40". Filmnya sendiri bisa ditonton di Maxstream.

3. THE DESSERT

Salah satu hal yang saya pelajari ketika membuat film pendek adalah tentang bagaimana menyiasati keterbatasan. Film pendek hampir selalu diproduksi dengan bujet minimal sehingga satu-satunya yang mungkin bisa "mewah" adalah bagaimana ide ceritanya diolah.

Salah satu film yang berkesan bagi saya adalah "Tape" [2001] dari salah satu sutradara favorit saya, Richard Linklater. Buat saya menarik sekali bagaimana membuat film dengan hanya menghadirkan 2 pemain di 1 ruangan namun sama sekali tak membosankan.

Maka saya membuat kisah cinta pahit-manis berjudul "The Dinner". Awalnya berupa kisah mantan pasangan suami istri yang selalu bertemu di malam Valentine demi mengenang kisah cinta mereka. Oleh Alim Sudio, cerita tersebut di-twist sedemikian rupa dan berubah judulnya menjadi "The Dessert".

Di proyek ini, saya beruntung bekerjasama dengan pasangan Prabu Revolusi dan Zee Zee Shahab. Sedari awal keduanya bersedia bergabung karena ketertarikan mereka pada ceritanya yang unik. Semacam "talkie movie" namun somehow bisa demikian filosofis.

Dengan proyek seperti ini, saya selalu merasa beruntung jika bertemu dengan pemain yang tetap mengedepankan profesionalisme. Prabu dan Zee Zee menjadwalkan pertemuan sebanyak 3 kali dimana kami membahas skenario, melakukan pendalaman karakter dan lainnya. Karena keduanya memang adalah pasangan di dunia nyata, saya tak susah untuk menyatukan mereka. Namun karena dialog di film ini panjang-panjang, saya sempat khawatir terutama karena Prabu belum punya cukup jam terbang. Tapi saya salah, Prabu justru mengejutkan kami ketika syuting dilakukan dan melahap adegan-adegan sulit dengan mudah.

"The Dessert" bisa ditonton di YouTube Channel Indonesia Sinema Persada.


4. ASYA STORY

Ini adalah miniseri pertama yang saya sutradarai yang diadaptasi dari novel. Semua karya saya sebelumnya berasal dari ide cerita saya sendiri. Meski ketika membaca novelnya, Asya Story terkesan ringan, namun saya menangkap tema yang bisa saya kulik di miniserinya yaitu tentang kekerasan seksual.

Dan soal kekerasan seksual inilah yang akhirnya membuat miniseri "Asya Story" cukup menyita perhatian saat beredar di layanan streaming di saat awal pandemi tahun 2020.  Saya cukup berhati-hati mempersiapkan proyek ini karena saya merasa sebagai laki-laki, saya berada di kutub berlawanan dengan apa yang dibicarakan di miniseri ini. Saya perlu berempati lebih kepada korban, karenanya saya membaca banyak literatur, wawancara dengan para penyintas dan mendengarkan bagaimana mereka berkeluh kesah.

Dan salah satu adegan paling sulit divisualkan di miniseri ini ketika Alex memperkosa Asya secara brutal. Sebelumnya Brigitta Chyntia [pemeran Asya] dan Sani Fahreza [pemeran Alex] sudah melatih koreografi adegan ini sebelumnya. Namun tetap saja kegugupan kami rasakan, terlebih ketika melihat totalitas yang diberikan oleh Gigi.

Adegan perkosaan ini juga menjadi penyebab investor yang pada awalnya bersedia mendanai proyek ini mundur. Saya tak berkompromi dengan aspek artistik sebuah proyek dan berprinsip bahwa miniseri tentang kekerasan seksual justru harus memperlihatkan kebrutalan adegan perkosaan agar para penonton membenci perlakuan tersebut dan mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Martin Scorsese selalu menyajikan kekerasan yang banal di karya-karyanya justru dengan maksud agar kita membenci kekerasan tersebut terjadi di kehidupan sehari-hari.

Miniseri "Asya Story" masih bisa ditonton di Genflix.

5. FRIENDSHIT

Untuk pertama kalinya saya menggarap komedi melalui serial ini. Sewaktu membaca novelnya, saya memang cukup sering dibuat terbahak. Namun ketika ditelusuri lebih dalam, novelnya berupa sketsa demi sketsa yang kadang acak dengan para karakter yang sering terasa tak real. Maka tugas adaptasi adalah bagaimana mewujudkan karakter-karakter didalamnya tampil membumi dan menjahit sketsa demi sketsa tersebut menjadi adegan berkesinambungan.

Untuk pertama kalinya pula saya menulis sendiri skenario miniseri yang saya sutradarai. Selain sebagai sutradara, saya juga adalah penonton setia serial/miniseri bagus dari seluruh dunia. Maka perspektif saya selalu tentang bagaimana membuat karakter-karakter tak sekedar hidup namun juga relevan. Ketika berjumpa dengan Arlan dan Kana di "Friendshit", kita seakan mengenalinya sebagai salah satu sahabat kita. Tugas saya cukup berat karena juga harus membangun semesta mereka dan membuat latar belakang cerita dimana keduanya berada hingga hari ini.

Bagi saya menulis adaptasi cukup sulit karena saya harus "tega" memilah dan memilih adegan yang perlu ada di miniseri dan mana saja yang harus rela dibuang. Mungkin sebagian pembaca novelnya kecewa karena adegan favorit mereka tak ada di miniseri. Alasannya bisa jadi karena adegan itu tak berfungsi apapun bagi plot utama cerita. Dan dari "Friendshit" saya belajar menerima kritikan secara terbuka dari pembaca setia novelnya.

Miniseri "Friendshit" masih bisa ditonton di Genflix.

6. GENCATAN SENJATA X PERANG DINGIN

Ini adalah kali pertama saya mengerjakan proyek untuk instansi pemerintah. Awalnya saya dikontak teman satu almamater saya di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dr Elvina Soetopo. Ia bekerja di Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional. Ia bercerita soal niatnya untuk membuat tutorial terkait pengendalian amarah yang dikaitkan dengan terapi narkoba.

Ketika saya menanyakan soal bujetnya, saya kaget. Karena bujetnya cukup besar. Maka saya menawarkan dibanding cuma membuat tutorial, kenapa tak membuat film pendek saja? Toh bujetnya lebih dari cukup. Tapi ada 2 mandatory yang harus terwujud dalam proyek tersebut.

Maka saya pun menggabungkan 2 cerita dalam 1 film pendek. Bisa ditonton terpisah, juga bisa ditonton secara berkesinambungan. Pengalaman menarik buat saya ketika membuat mandatory dari klien bisa muncul dalam wujud visual. Bukan sekedar dialog tapi bagaimana mandatory tersebut mengalir dalam cerita.

"Gencatan Senjata x Perang Dingin" menjadi menarik karena ia bercerita soal narkoba tanpa harus menunjukkannya secara visual. Dan saya pun kembali belajar bagaimana bisa berkarya tanpa mengesampingkan idealisme.


7. PADA SUATU HARI, ADA IBU DAN ELANG

Ini adalah kali pertama saya mengerjakan miniseri untuk sebuah produk. Dari hari ke hari saya melihat efektifitas iklan untuk mempromosikan produk semakin menurun. Ketika iklan diputar, sebagian besar dari kita memilih untuk melewatkannya.

Maka integrasi produk ke film/serial/miniseri menurut saya adalah sebuah keniscayaan. Dan menjadi tantangan buat saya bagaimana mengemas produk ke dalam sebuah cerita tanpa harus terlihat dipaksakan. Untuk proyek "Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Elang", produknya adalah minyak Telon Lang.

Saya mempelajari brief dari klien dan akhirnya menyadari satu hal: bahwa minyak Telon Lang punya kekhasan soal aroma. Maka saya membuat cerita tentang seorang ibu yang ditinggalkan oleh suaminya yang mengalami kecelakaan dan harus membesarnya anaknya seorang diri. Dan bagaimana almarhum masih meninggalkan aroma khas dari minyak telon yang sering dipakaikannya ke anaknya, kadang juga ke dirinya sendiri.

Miniseri ini diproduksi sebanyak 15 episode dan sudah dipublikasikan sebanyak 5 episode via YouTube Channel Telon Lang.

Selalu banyak cerita dan pengalaman seru dan menarik yang mewarnai setiap penciptaan karya saya. Dan semoga karya-karya tersebut bermanfaat bagi penontonnya. Dan juga semoga saya bisa terus menghasilkan karya-karya segar, menarik dan bermanfaat untuk masyarakat Indonesia.

           

Ichwan Persada adalah sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun