Oleh: Nurdian SuciwatiÂ
Secara etimologi, kata tahrif merupakan istilah dalam bahasa Arab, yaitu isim masdar dari kata kerja harrafa-yuharrifu-tahrifan, yang artinya memalingkan, mengubah, atau mengganti. Sebagai contoh dari makna penggantian atau pengubahan yaitu terdapat pada firman Allah:
Artinya: "Yaitu (sebagian) orang-orang Yahudi mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya". (QS. An- Nisa' 4:46)
Dalam Al- Qur'an kata tahrif disebut dalam bentuk kata kerjanya saja. Penyebutan yang demikian terulang sebanyak empat kali. Kata- kata ini terdapat pada surah An- Nisa' ayat 46, Al- Baqarah ayat 75, surah Al- Maidah ayat 13 dan 41. Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahrif secara bahasa berarti pemalingan, pengubahan, atau penggerak.
      Sementara itu, secara etimologis tahrif didefinisikan dengan beragam rumusan. Berikut ini adalah pengertian-pengertian yang dirumuskan para pakar:
a. Dalam Lisan al- 'arab, Ibnu al-Manzur menjelaskan bahwa tahrif berarti mengubah makna huruf atau menukar kata dengan kata yang serupa, seperti halnya orang Yahudi mengubah makna ayat Taurat. Menurutnya, fokusnya adalah mengganti atau memodifikasi makna huruf atau kata dengan yang serupa. Artinya, maksud dan makna ayat tersebut tidak berbeda jauh setelah dilakukan perubahan. Namun, perubahan tersebut masih dianggap tidak dapat dibenarkan, meskipun esensi isinya sebagian besar tidak berubah. Bagaimanapun juga, hal ini menyangkut menjaga keaslian kitab suci yang berasal dari Allah untuk memastikan kitab tersebut berfungsi sebagai pedoman yang dapat diandalkan bagi orang-orang muslim.
b. Dalam tulisannya yang berjudul "al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an," Ar-Raghib al-Asfahani menguraikan konsep tahrif sebagai suatu bentuk di mana suatu kata diberi kemungkinan untuk memiliki dua makna atau lebih. Dalam penjelasannya, ia menonjolkan bahwa esensi tahrif adalah terkait dengan potensi memberikan variasi makna dari suatu kata tanpa perlu menggantinya atau melakukan perubahan terhadap kata tersebut. Dengan demikian, dalam pandangan al-Asfahani, tahrif tidak berkaitan dengan substansi kata yang mengalami penggantian atau modifikasi, melainkan lebih kepada kemampuan kata tersebut untuk mencakup beberapa makna yang mungkin.
c. Adapun menurut Hamka, tahrif dapat diartikan sebagai tindakan mengubah isi atau redaksi suatu ayat serta menafsirkannya dengan cara yang tidak sesuai. Poin utama yang ditekankan adalah adanya perubahan baik pada kata-kata yang digunakan dalam ayat maupun pada makna yang terkandung dalam tafsirnya. Dengan penjelasan ini, terdapat dua kemungkinan perubahan: pertama, modifikasi pada ayat-ayat kitab suci itu sendiri, dan kedua, penggantian yang terbatas pada interpretasi atau penafsiran ayat tersebut.
d. Al-Maraghi menjelaskan bahwa tahrif menurutnya, memiliki dua aspek utama. Pertama, terkait dengan penggantian makna kata, di mana makna kata digantikan dengan arti yang tidak sesuai dengan maksudnya. Penting dicatat bahwa dalam kasus ini, kata itu sendiri tetap ada. Kedua, terkait dengan perubahan letak kata atau frasa, di mana sebuah kata atau frasa dari ayat dipindahkan ke tempat lain. Dengan demikian, al-Maraghi memberikan pemahaman yang terperinci tentang dua dimensi tahrif ini.
      Adapun dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tahrif  adalah pengubahan yang terjadi pada ayat kitab suci, baik yang berkaitan dengan huruf, kata, ayat, atau penafsirannya. Tahrif dalam Al- Qur'an sesuai dengan defenisi yang dijelaskan diatas dapat terrjadi dalam berbagai bentuk, baik yang berkenaan dengan huruf, harakat, kata, ayat, surat, atau penafsirannya. Namun demikian, bila ditinjau dari segi jenisnya, dengan melihat teori dari Syaikh Rasul Ja'fariyan, hal itu dapat diklafisikasikan dalam dua bentuk, yaitu tahrif lafdziyah dan tahrif ma'nawiyah.
1. Tahrif Lafdziyah
      Tahrif lafdhy merujuk pada pengubahan redaksi ayat dalam Al-Qur'an, yang sering terjadi selama perjalanan sejarah Al-Qur'an. Meskipun perubahan semacam ini cukup umum, beberapa ulama tidak sepakat dan menolak adanya tahrif, terutama ketika menyangkut ayat dan surat. Untuk lebih menguraikan, berikut dijabarkan secara rinci satu persatu persoalan-persoalan terkait dengan tahrif lafdhy. Adapun perubahan itu yaitu:
a. Perubahan dalam huruf
Adapun perubahan ini memang harus diakui bahwa terdapat perubahan dalam al-Qur'an terkait huruf, yang lebih disebabkan oleh perkembangan tulisan al-Qur'an atau rasm al-Qur'an. Pada awalnya, rasm al-Qur'an tidak memiliki tanda baca, dan huruf-huruf serupa seperti ba', ta', sa', nun, dan ya' ditulis tanpa perbedaan. Selain itu, tidak ada harakat pada tulisan al-Qur'an pada masa Nabi dan sahabat. Abul Aswad ad-Duali kemudian memperkenalkan baris atau harakat untuk memudahkan orang non-Arab membaca huruf-huruf tersebut. Meskipun para sahabat Nabi tidak mengalami kesulitan membaca karena mereka tahu bahasa Arab, perbedaan dalam membaca muncul ketika Islam menyebar ke luar Arab. Orang-orang non-Arab yang baru memeluk Islam menghadapi kesulitan karena tidak ada tanda pembeda antara huruf serupa. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam membaca al-Qur'an. Terkait perubahan dalam bentuk huruf tanpa titik, seperti contoh kata "fatabayyanu", yang dapat dibaca sebagai "fatabayyanu" atau "fatatsabbatu", para ulama menganggap perubahan ini wajar. Dengan masuknya lebih banyak umat non-Arab ke dalam Islam, perubahan tulisan al-Qur'an dilakukan untuk memudahkan pembacaan. Meskipun ada perubahan dalam bentuk huruf, ini dianggap sebagai upaya untuk memfasilitasi umat dalam membaca al-Qur'an tanpa mengubah kandungannya.
b. Perubahan dalam harakat
      Penyempurnaan tulisan al-Qur'an melibatkan pemberian harakat, yang bertujuan menetapkan bunyi huruf agar memudahkan umat Islam dalam membaca al-Qur'an. Syaikh Rasul Ja'fariyah menganggap hal ini sebagai penyebab perbedaan cara membaca (qira'at) al-Qur'an, yang banyak dijelaskan dalam karya-karya ulama. Majma' al-Bayan, karya ath-Thabarsi, termasuk buku yang mengupas topik ini. Perbedaan qira'at tidak terbatas pada satu cara membaca, melainkan mencapai tujuh hingga sepuluh macam, bahkan ada yang menyebut 14 atau 15 macam qira'at. Contoh perbedaan qira'at dapat ditemukan dalam bacaan Umar bin Abdul Aziz, yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah, khususnya dalam membaca ayat 28 pada surat Fathir, yaitu:Â
Artinya: " Diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama". (QS. Fathir 35:28)
Perbedaan bacaan, seperti memberikan dhammah pada kata Allah dan fathah pada kata ulama, berbeda dengan qira'at yang umumnya terdapat pada Mushaf Usmany, di mana fathah diberikan pada kata Allah dan dhammah pada kata ulama. Akibat perbedaan ini, makna ayat menjadi berbeda dengan pemahaman yang umumnya diterima dalam Mushaf Usmany. Misalnya, dengan bacaan tersebut, ayat menyiratkan bahwa Allah memiliki keseganan terhadap ulama sebagai sebagian dari makhluk-Nya, berbeda dengan pemahaman umum yang menyatakan bahwa hamba Allah yang memiliki keseganan pada-Nya adalah para ulama. Para ulama memberikan penafsiran takwil terhadap bacaan ini, seperti az-Zarkasyi yang menegaskan perlunya penafsiran non-harfiah untuk menghindari pemahaman bahwa Allah takut kepada ulama. Subhi Shalih menyatakan bahwa pengkhususan keseganan Allah terhadap ulama dimaksudkan untuk menunjukkan penghargaan dan derajat tinggi mereka di sisi-Nya. Perubahan bacaan ini, sesuai dengan as-Suyuthi, dapat memengaruhi berbedanya hukum yang dapat disimpulkan dari makna ayat tersebut.
c. Perubahan dalam kata
      Perbedaan qira'at juga menyebabkan terjadinya perubahan dalam kata yang terdapat pada suatu ayat. Selain itu, Syaikh Ja'far Rasuli dengan mengutip pendapat Ibnu Mas'ud menambahkan bahwa hal ini juga dapat disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa kata-kata dalam Al- Qur'an boleh diganti dengan kata-kata lain yang bersinonim. Pengubahan kata yang terdapat dalam ayat banyak ditemukan dalam mushaf. Ibnu Abi Daud mengungkapkan beragam contoh dari kasus semacam ini dalam karyanya yang berjudul Al- Mashahif. Sebagaimana contohnya dalam (QS. Al- Fatihah 1:7)
      Pada lafadz yang bergaris bawahi tersebut diganti menjadi kata ghairi. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abbas bin Imran, yang menerimanya dari Aswad dan Alqamah. Kedua sahabat ini mendengar Umar bin Khattab saat mereka sedang salat dibelakang khalifah tersebut. Perubahan dalam kata-kata ini pasti akan mengubah makna ayat, dan itulah alasan para ulama setuju untuk menolaknya. Subhi Shalih menyebut qira'at Ibnu Masud seperti itu sebagai qira'at syadzdzah yang tak dapat diterima. Syaikh Jafar Rasuli juga sependapat, menegaskan penolakan terhadap tahrif kata yang mengubah makna dan berbeda dari maknanya yang mutawatir, sebagaimana terdapat dalam mushaf al-Qur'an saat ini, yang diakui oleh seluruh umat Islam. Meskipun ada beberapa yang menerimanya, jumlah mereka sedikit.
d. Perubahan dalam ayat
      Beberapa ulama, pemerhati, dan penulis Ulumul Qur'an menyatakan bahwa perubahan dalam ayat memang terjadi. Banyak riwayat dari ulama Ahlu Sunnah maupun Syiah mengakui keberadaan perubahan ini. Isu perubahan ayat sering dibahas di kalangan penuntut ilmu keislaman, terutama dalam studi Ushul al-Fiqh dan Ulum al-Qur'an. Mereka menghadapi persoalan ini terutama saat mempelajari naskh (penghapusan/penggantian) ayat, termasuk penghapusan atau penggantian ayat dengan hukumnya (naskh ar-rasmi wa al-hukmi) serta penghapusan ayat tetapi hukumnya tetap berlaku (naskh ar-rasmi wa baqa' al-hukmi). Penting untuk dicatat bahwa penghapusan ayat terjadi pada masa Rasulullah saw, khususnya saat Usman bin Affan meresmikan Mushaf Usmani. Fakta sejarah menunjukkan bahwa umat Islam menerima penetapan tersebut tanpa protes. Seiring waktu, ayat-ayat yang dihapus seperti pada surat al-Ahzab, termasuk pernyataan Ubay bin Ka'ab, tampaknya telah dihapus pada masa hidup Rasulullah saw atas petunjuk Allah. Perubahan atau tahrif ini bukan hanya pandangan Ahlu Sunnah tetapi juga diakui oleh penganut Syiah, yang mendalaminya dalam karya-karya terkait al-Qur'an. Mereka menyatakan bahwa mushaf yang sekarang dianggap sebagai wahyu Rasulullah Saw telah mengalami banyak perubahan, dengan beberapa ayat yang hilang.
e. Perubahan dalam surat
      Perubahan dalam isi surat-surat al-Qur'an dari masa awal hingga saat ini, menunjukkan kemungkinan adanya pengurangan, penghilangan, atau perubahan pada mushaf al-Qur'an. Beberapa klaim mendukung ide bahwa doa iftitah dan doa qunut pada awalnya merupakan bagian dari surat Al-Qur'an, namun pandangan ini tidak selalu didukung oleh bukti yang kuat. Sebagai contoh, Ubay bin Ka'ab dicatat mencantumkan keduanya dalam mushaf yang disusunnya, sehingga surat al-Qur'an dalam mushaf tersebut berjumlah 116. Namun, ada penilaian bahwa qira'at Ubay tersebut tidak dapat diikuti karena dianggap bermasalah. Beberapa tokoh seperti Subhi Shalih dan Manna' al-Qaththan menolak qira'at ini, menyatakan bahwa mushaf semacam itu tidak dapat dijadikan pedoman atau dibaca dalam salat. Di sisi lain, ada riwayat yang berbicara sebaliknya, menyatakan bahwa beberapa surat awalnya tidak dianggap sebagai bagian dari al-Qur'an, tetapi kemudian dimasukkan dalam Mushaf Usmani. Contohnya adalah pandangan Ibnu Masud yang menolak surat an-Nas, al-Falaq (dikenal sebagai al-Muawidzatain), dan al-Fatihah sebagai surat dari al-Qur'an. Jika pandangan ini diakui, jumlah total surat dalam al-Qur'an dapat menjadi 111. Perbedaan pandangan semacam itu menciptakan kompleksitas dalam memahami evolusi teks al-Qur'an sepanjang waktu.
2. Tahrif Ma'nawiyah
      Tahrif Ma'nawiyah adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada makna Al- Qur'an. Perubahan seperti ini terjadi karena adanya perbedaan pemahaman dari pada pembacanya, dalam hal ini yaitu umat Islam itu sendiri. Mereka yang membaca dan berupaya memahami isi Al- Qur'an terdiri dari beragam manusia, baik dari segi etnis, bahasa, pengetahuan, budaya, dan lingkungan. Semua unsur tersebut sangat berpengaruh dalam upaya pemahaman Al- Qur'an. Keberagaman ini tentu saja menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap teks suci tersebut, sebagaimana terlihat dari berbagai tafsir para ulama yang menawarkan makna berbeda untuk ayat atau istilah tertentu, seperti "sab'a samawat" (tujuh langit) dalam konteks yang berbeda, seperti Surah ath-Thalaq. ayat 12.
Â
Artinya: "Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti pul bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu". (QS. At- Thalaq 5:12)
      Al-Maraghi menginterpretasikan istilah "sab'a samawat" sebagai planet-planet yang tersebar di ruang angkasa, dengan angka tujuh merepresentasikan banyaknya. Ini mencerminkan kebiasaan Arab yang menggunakan tujuh, tujuh puluh, atau tujuh ratus untuk menyatakan jumlah yang besar. Menurutnya, tujuh lapis langit mengacu pada banyaknya planet atau galaksi yang berputar mengelilingi matahari. Penafsiran ini sejalan dengan teori ilmiah astronomi yang menyebutkan ada ratusan juta planet atau galaksi dalam orbit mengelilingi matahari. Pandangan ini juga ditemukan dalam tafsir Departemen Agama, menghubungkan istilah tersebut dengan galaksi-galaksi di ruang angkasa yang jumlahnya sulit ditentukan secara pasti, mungkin mencapai jutaan atau bahkan milyaran.
      Thabathaba'i, dalam Tafsir al-Mizan, menyatakan bahwa istilah "tujuh lapis langit" tidak merujuk pada planet-planet seperti matahari, bulan, dan bintang di angkasa. Sebaliknya, ini mencerminkan penciptaan Tuhan yang disusun secara bertingkat. Alam planet, bintang, dan sejenisnya dianggap sebagai langit yang paling dekat dengan manusia, sedangkan enam langit lainnya tidak dijelaskan dalam al-Qur'an.
      Hamka memiliki pandangan berbeda mengenai "tujuh lapis langit". Menurutnya, al-Qur'an dan Sunnah tidak memberikan rincian atau keterangan tentang hal ini, sehingga umat Islam sebaiknya tidak perlu terlalu mendalami berbagai teori terkait. Hamka menekankan bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teori-teori ilmiah masa lalu dapat dianggap keliru ketika muncul teori baru yang berbeda. Oleh karena itu, perbincangan mengenai hal tersebut sebaiknya dihindari.
      Pada saat itu, manusia justru menyadari bahwa pengetahuan yang ditemukan masih terbatas. Hamka juga mengkritik tajam para penafsir yang memberikan berbagai penjelasan mengenai tujuh lapis langit, menyebutnya sebagai dongeng tanpa dasar yang dapat diandalkan. Ini mencerminkan variasi penafsiran istilah-istilah dalam ayat al-Qur'an, yang dapat ditemui dalam jumlah yang besar. Setiap mufassir memiliki pandangan yang berbeda dalam menjelaskan istilah atau ayat, dan ini dianggap wajar. Perbedaan penafsiran ini dipahami sebagai hasil dari pengaruh budaya, kebiasaan, pengetahuan, lingkungan, dan cara berpikir masing-masing mufassir. Disinkronkan adanya variasi dalam unsur-unsur tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam penjelasan makna ayat-ayat tersebut.
B. Keterjaminan Al- Qur'an dari Tahrif
      Keteguhan Al-Qur'an terhadap penyimpangan di dalam Islam dianggap sebagai hasil dari campur tangan langsung Allah untuk menjaga teks suci tersebut dari segala bentuk perubahan atau distorsi. Salah satu cara untuk menjaga keaslian Al-Qur'an adalah dengan cara menghafalnya. Penjagaan Al- Qur'an merupakan sebuah keniscayaan yang Allah Swt jamin, sebagaimana dalam firmannya:
      Artinya: " Sesungguhnya kami yang telah menurunkan Al- Qur'an, dan pasti kami pula yang menjaganya".(QS. Al- Hijr 15:9)
      Menjaga keaslian Al-Qur'an adalah tindakan yang dianjurkan oleh Allah untuk umat, bertujuan menjaga jumlah penghafal Al-Qur'an dari masa ke masa. Pentingnya penjagaan ini adalah untuk memastikan bahwa Al-Qur'an tetap terpelihara, baik huruf, kalimat, maupun harakatnya, melalui banyaknya penghafal yang menyampaikan warisan ini dari generasi ke generasi. Dengan banyaknya penghafal, Al-Qur'an terhindar dari potensi penyimpangan (tahrif). Selain itu, penjagaan ini juga melibatkan pencegahan kesalahan, kekeliruan, pengurangan, atau penambahan huruf, terutama saat proses kodifikasi. Al-Qur'an, sebagai warisan sejarah yang autentik, terjaga dengan baik berkat jumlah penghafal yang konsisten. Kesalahan dalam bacaan akan segera terdeteksi oleh para penghafal, menjadikan tahfiz (memorialisasi) sebagai bentuk keutamaan yang Allah wujudkan pada kitab-Nya yang suci.
      Dalam menjaga integritas Al-Qur'an agar terhindar dari kemungkinan tahrif, perhatian khusus diberikan pada dua aspek utama, yaitu sanad dan mutawatir Al-Qur'an. Proses transmisi Al-Qur'an melibatkan catatan sanad dengan teliti, dijaga secara kolektif, dan diyakini umat Islam sebagai mutawatir, artinya disampaikan oleh sejumlah besar perawi secara berkesinambungan. Umat Islam meyakini bahwa sanad Al-Qur'an bersifat mutawatir, menegaskan bahwa pewarisan teks ini dilakukan melalui rantai perawi yang sangat besar, sehingga keutuhan dan keasliannya terjaga. Faktor mutawatir menjadi pondasi kuat dalam memastikan bahwa Al-Qur'an yang diterima saat ini sesuai dengan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Selain itu, untuk menegakkan keabsahan Al-Qur'an, pandangan sejarah turut menjadi landasan. Adanya naskah-naskah Al-Qur'an yang dapat ditelusuri kembali ke zaman awal Islam memberikan bukti konkret akan keaslian dan keutuhan Al-Qur'an. Naskah-naskah tersebut menjadi saksi sejarah yang menegaskan bahwa Al-Qur'an yang kita miliki hari ini adalah hasil warisan yang terpelihara dari generasi ke generasi, memvalidasi kepercayaan umat Islam terhadap integritas Al-Qur'an sebagai kitab suci yang tidak mengalami perubahan atau tahrif.[1]
Â
      Kenyataan-kenyataan sejarah menunjukkan tidak adanya tahrif Al- Qur'an dengan sengaja oleh salah seorang sahabat. Riwayat-riwayat sejarah menunjukkan betapa ketatnya penjagaan Al- Qur'an dari pihak para sahabat. Sebagaimana kisah Utsman bin Affan bersikeras meminta supaya huruf wawu atau huruf ataf yang berarti "dan" didalam QS. At- Taubah: 34 yaitu: ..., dibuang. Akan tetapi para sahabat menolak dan memprotes Utsman. Ketika Utsman bin Affan ingin menulis mushaf dia meminta supaya mereka membuang huruf wawu pada ayat tersebut. Akan tetapi, Ubay bin Ka'ab berkata: " Kau harus menulis huruf tersebut atau kalau tidak, akan kuletakkan pedang ini di atas pundakku". Maka orang-orang menulisnya.[2]
Â
      Adapun tahrif disini juga dianggap sebagai penyimpangan, distorsi atau perubahan yang diklaim oleh beberapa kelompok atau individu terhadap teks suci Al- Qur'an. Bagi mayoritas muslim menganggap bahwa Al- Qur'an terbebas dari segala bentuk tahrif, baik secara tekstual maupun makna dan tahrif Al- Qur'an merupakan ide yang ditolak dan dianggap tidak benar. Mayoritas muslim jua percaya bahwa Al- Qur'an telah terlindungi atau terjaga dari perubahan sejak diturunkannya.
Â
C. Mengkritisi riwayat-riwayat yang mengesankan terjadinya tahrif
      Adapun riwayat-riwayat yang mengesankan terjadinya tahrif didalam Al- Qur'an sering kali terjadi pada dua kalangan mazhab yaitu antara kalangan sunni dan syiah. Dalam hal ini mengenai tahrif Al- Qur'an dalam pandangan kaum sunni dan syiah dimana ulama-ulama syiah menilai Al- Qur'an dengan penilaian yang berbeda dari ulama sunni pada umumnya, diantara perbedaan itu karena ulama syiah beranggapan bahwa sebagian ayat-ayat Al- Qur'an telah mengalami perubahan dan penyimpangan dikarenakan sebagian ayat-ayatnya ada yang asli namun ada juga yang palsu.[3]Â
Â
a. pandangan sunni tentang tahrif Al- Qur'an
Ahlusunnah secara keseluruhan tidak mengakui adanya penyimpangan (tahrif) dalam Al-Qur'an. Mereka mengakui konsep Nasakh Mansukh dalam Al-Qur'an dan mempercayai keotentikan, kelengkapan, serta kemutawatiran Al-Qur'an yang tertulis dalam mushaf Utsmani tanpa penambahan atau pengurangan. Otentisitas Al-Qur'an dibuktikan melalui masyarakat Arab pada masa turunnya, yang tidak mengenal literasi dan mengandalkan hafalan sebagai sarana utama. Kesederhanaan masyarakat Arab pada masa itu memberikan waktu luang untuk memperdalam pemahaman dan hafalan Al-Qur'an. Keindahan bahasa Al-Qur'an mencapai tingkat tertinggi dan diakui oleh mukmin maupun kafir. Rasulullah mendorong umat Muslim untuk mempelajari dan membaca Al-Qur'an, dan petunjuk teliti dalam menyampaikan berita, terutama yang bersumber dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya, ditemukan dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi.
Beberapa riwayat menunjukkan adanya tahrif, seperti pernyataan Ibnu Mas'ud yang mencatat bahwa dia mengeluarkan Mu'awidzatain (surah Al-Falaq dan An-Nas) dari mushafnya, menyebut keduanya bukan bagian dari Al-Qur'an. Meskipun pandangan ini mendapat penolakan dari sebagian ulama, termasuk Fakhrurrazi dan Nawawi, yang menyatakan bahwa umat Islam sepakat Fatihatul Kitab dan Al-Muawwidzatain adalah bagian sah dari Al-Qur'an. Dalam tafsirnya, Nawawi menegaskan bahwa apa yang dinukilkan dari Ibnu Mas'ud dianggap batil dan tidak benar. Penulis Kitab Manahilul 'Irfan juga menyatakan bahwa meskipun Ibnu Mas'ud menyangkal keberadaan kedua surat tersebut, hal ini tidak membahayakan umat Islam, karena umat sepakat bahwa keduanya tetap termasuk dalam Al-Qur'an. Dengan demikian, meskipun terdapat perbedaan pendapat, umat Islam secara umum menegaskan bahwa Fatihatul Kitab dan Al-Muawwidzatain adalah bagian integral dari Al-Qur'an yang tidak tercemar oleh tahrif.
Sedangkan Qasthalani berpendapat bahwa penolakan narasi penolakan Ibnu Mas'ud memasukkan Al-Muawwidzatain dalam mushafnya akan menimbulkan tuduhan ketidakjujuran terhadap para perawi yang meriwayatkannya. Untuk menyikapi hal tersebut, ia menyarankan agar Ibnu Mas'ud tidak mengingkari pencantuman kedua surah tersebut dalam Al-Qur'an namun memilih untuk tidak mencantumkannya dalam mushaf pribadinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Jika Ibnu Mas'ud mengakui surah-surah tersebut, mengapa menghilangkannya dari mushafnya? Baqilani dengan tegas menyatakan bahwa siapa pun yang mengklaim Ibnu Mas'ud mengingkari surat-surat dalam Al-Qur'an ini adalah orang yang tidak tahu apa-apa, karena cara penyampaiannya identik dengan Al-Qur'an.
b. Pandangan Syiah tentang Tahrif Al- Qur'an
      Sejumlah kelompok Syiah ekstrem mendakwa bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman melakukan manipulasi terhadap Al-Qur'an dengan menghilangkan beberapa ayat dan surah. Mereka mengklaim bahwa ayat "Ummatunhiya arba' min ummatin" (QS. An-Nahl 16:92) diganti dari yang semula "A'immatunhiya azka min a'immatikum". Argumen ini berdasarkan riwayat yang menyebut Ibnu Mas'ud menolak keabsahan surah An-Nas dan Al-Falaq dalam Al-Qur'an. Namun, banyak ulama menolak klaim tersebut, dengan menyatakan bahwa riwayat Ibnu Mas'ud tidak dapat diterima karena bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.
      Para perawi syiah meriwayatkan beberapa riwayat yang menyinggung masalah tahrif dan seakan tahrif tersebut telah terjadi pada Al- Qur'an. Mereka yang tidak mendalami benar permasalahan ini, menjadikan riwayat-riwayat tersebut sebagai dalil bahwa syiah meyakini tahrif Al- Qur'an. Adapun penjelasan pada tuduhan ini yaitu:
1. Penyebutan sejarah dan kutipannya dalam kitab-kitab tidak dapat diartikan sebagai pengakuan otomatis terhadap keabsahan riwayat tersebut. Terutama dalam lingkup syiah imamiyah, pandangan ini berbeda dengan ahlussunnah wal jamaah yang meyakini kesahihan tanpa penolakan terhadap isi Shahih Bukhari dan Muslim. Meski penyusun kitab-kitab tersebut menegaskan hanya menyertakan riwayat yang dianggap shahih, kenyataannya banyak riwayat yang saling bertentangan, baik dalam aspek furu' (cabang) maupun ushul (prinsip). Oleh karena itu, meskipun ada klaim kesahihan, bijak untuk tidak menganggap semua riwayat tersebut sebagai mutlak sah dan mempertimbangkan dengan hati-hati.
2. Beberapa catatan sejarah membicarakan perbedaan dalam membaca Al-Qur'an, yang umumnya dikenal sebagai qiraat. Perbedaan ini mencuat dalam literatur Syiah dan Sunni. Di dalam kitab-kitab Syiah, terdapat catatan bahwa qiraat ini sebagian besar diatributkan kepada Ahlul Bait, khususnya mushaf Ali bin Abi Thalib. Di sisi lain, dalam literatur Sunni, qiraat ini diasosiasikan dengan para sahabat, seperti Ibn Mas'ud dan Ubay. Namun, penting untuk dicatat bahwa riwayat-riwayat ini, terutama yang tidak bersifat mutawatir (tidak secara massal diterima), memiliki keterbatasan dalam mengonfirmasi teks Al-Qur'an. Hal ini karena sebagian besar riwayat-riwayat tersebut termasuk dalam kategori ahad, yaitu riwayat-riwayat yang tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Oleh karena itu, para ulama cenderung lebih mempercayai riwayat-riwayat yang bersifat mutawatir dan masyhur. Selain itu, para imam dari kedua tradisi, baik Syiah maupun Sunni, menegaskan pentingnya bagi para pengikut mereka untuk membaca Al-Qur'an dengan cara yang umum diakui oleh umat Islam pada umumnya. Ini mencerminkan upaya untuk meneguhkan fondasi yang kokoh dalam memahami dan meresapi ajaran Al-Qur'an tanpa terperangkap dalam perbedaan qiraat yang mungkin bersifat lebih spesifik dan terbatas.
A. kesimpulan
      Dalam makalah ini telah merinci pengertian tahrif secara bahasa dan istilah sebagai langkah awal untuk memahami konsep tersebut. Selanjutnya,  mengeksplorasi betapa pentingnya keterjaminan Al-Qur'an dari tahrif, menyoroti argumen dan bukti yang menguatkan keandalan teks suci tersebut. Selain itu, mengambil sikap kritis dengan mengkritisi riwayat-riwayat yang memberikan kesan adanya tahrif dalam Al-Qur'an mencerminkan pemahaman mendalam tentang kompleksitas isu tahrif. Seiring dengan membahas pengertian dan keterjaminan Al-Qur'an, kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Qur'an memiliki landasan yang kokoh dan terpelihara dari distorsi. Sementara itu, pengkajian kritis terhadap riwayat-riwayat yang mengindikasikan tahrif mengajukan pertanyaan mendasar tentang keabsahan klaim tersebut. Makalah ini tidak hanya memberikan pemahaman konseptual, tetapi juga mendorong pemikiran kritis terhadap berbagai perspektif seputar tahrif dalam literatur Islam. Adapun ini menegaskan bahwa, melalui pendekatan ini, kita dapat memperdalam pemahaman kita terhadap Al-Qur'an dan meresapi keandalannya sebagai pedoman hidup umat Muslim. Â
      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H